Oleh: A. Khairunnisa
(Aktivis Mahasiswa)
Polemik
nikah dini semakin ramai diperbincangkan di berbagai elemen masyarakat.
Pernikahan yang merupakan salah satu tujuan untuk bisa mewujudkan suatu
keluarga yang berasaskan pada Islam, menjadi terjegal oleh polemik yang
disebabkan batas usia.
Seringkali
muncul perdebatan mengenai pernikahan dini atau perkawinan anak, dengan alasan
panjangnya usia produktif anak untuk melahirkan. Semakin rendah usia
pernikahan, maka semakin besar pula peluang melahirkan. Dan ini tentu
bertentangan dengan target pemerintah dan program international yang berkaitan
dengan kependudukan.
Mengacu
pada UU Nomor 1 tahun 1974 mengenai perkawinan yang berbunyi: Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria telah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai 16 tahun. UU ini pun di revisi dengan mengubah batas minimal menikah
laki-laki dan perempuan yang akan menikah minimal di usia 19 tahun.
(Mediaindonesia.com, 02/11/2020)
Maka,
jika dibawah dari ketentuan yang ada, termasuk pada pernikahan dini. Ada banyak
dampak dari pernikahan dini, baik pada hal social, psikologi, dan kesehatan.
Sebab masih banyak yang awam akan ilmu berumah tangga.
Mengenai
Kespro (Sex Education) yang dianggap sebagai upaya pemecehan masalah pernikahan
dini. Penyuluhan dilakukan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai kesehatan
reproduksi, bahaya seks bebas yang berkaitan dengan remaja. Namun, benarkah?
Kespro merupakan salah satu solusi dalam menutaskan permasalahan ini, sebab
pada faktanya kasus pergaulan bebas seiring waktu semakin meningkat.
Benar,
hak anak merupakan hal yang wajib dijaga, anak pun merupakan penerus generasi
dan aset strategis bangsa dimasa mendatang. Namun sayangnya, narasi cegah nikah
dini seringkali tidak singkron dengan penyikapan terhadap realitas maraknya
pemerosotan moral pada remaja. Sedangkan merosot/dekandesi moral ini jauh lebih
berbahaya dibandingkan dengan jumlah kasus dan dampak pernikahan dini. Dan
seharusnya pemerintah juga harus fokus terhadap hal tersebut, sebab maraknya
pergaulan bebas karena rusaknya moral generasi, sehingga pemerintah harusnya
mencegah rusaknya moral bukan mencegah nikah dini.
Mengingat
bagaimana kepentingan politik global yang bertujuan untuk mengurangi populasi
umat muslim, sarat makna atas narasi larangan pernikahan dini dengan pembatasan
usia yang jelas bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Begitupula
dengan seiring gencarnya kampanye Kespro (Kesehatan Resproduksi) remaja dengan narasi
bahayanya kehamilan usia dini. Namun realitanya, usia 17, 18, 19 tahun
merupakan usia yang dapat dikatakan matang secara reproduksi, dan secara mental
juga sudah cukup stabil apabila mereka mendapatkan edukasi dan lingkungan yang
baik.
Selain
itu tujuan dari kepentingan sistem Kapitalis, mendorong para pemuda untuk
bersekolah dan memasuki dunia kerja untuk menjadi pekerja bagi sektor industri,
Dalam
Islam sendiri, pernikahan tidak menentukan usia untuk laki-laki maupun
perempuan. Justru misalnya, pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Aisyah. Seperti
Shahih Muslim tuturkan dalam sebuah Riwayat dari Aisyah, beliau berkata:
“Rasulullah menikahiku pada usiaku yang keenam. Dan beliau tinggal serumah
denganku pada usiaku yang kesembilan. (HR. Muslim).
Dalam
Islam memperbolehkan laki-laki menikahi perempuan yang belum baligh namun tidak
boleh digauli sampai menginjak usia dimana ia telah memiliki keingingan
terhadap ini. Maka, dengan demikian tidak mengakibatkan pada rusaknya anggota
badan bagian reproduksinya, yang akhirnya justru bersebrangan dengan tujuan
pernikahan itu sendiri. Bukan rahasia lagi jika seks bebas dikalangan remaja,
bahkan anak-anak di Indonesia sudah merebak, baik yang menjurus pada tindak
kekerasan seperti pemerkosaan anak, kehamilan diluar nikah yang berujung
pernikahan dini, serta kelahiran yang tak diinginkan
Perlu
ditekankan kembali, bahwa kondisi dulu dengan sekarang jauh berbeda. Sebab
dahulu dimana Islam diterapkan dalam bentuk Negara (Daulah) kematangan
psikologis anak jauh lebih siap disbanding sekarang. Sebab umat dibentuk dengan
syakhyiyah (kepribadian) Islam, melalui pembinaan dan pendidikan yang bersandar
pada Islam Kaffah. Termasuk perihal menikah.
Bedanya
dengan sekarang, tingkat kematangan organ reproduksi tidak diiringi dengan
kematangan cara berfikir. Freedom of Lifestyle yang menjadi standar anak zaman
sekarang, hingga mereka cenderung untuk melakukan hal-hal seperti pacaran untuk
memenuhi keinginan dan syahwat mereka.
Yang
menjadi persoalan bukanlah batas usia menikah (cegah nikah dini), melainkan
mengenai sistem Liberalisme-Sekulerisme yang melahirkan generasi bobrok dan
hanya menuhankan hawa nafsu. Yang diperlukan disini ialah sebuah system yang
mampu melahirkan generasi terbaik, melindungi generasi dan umat dari segala
keburukan, mampu membentuk pribadi yang kokoh akan iman, dan tangguh dalam
menghadapi tantangan zaman, yang hanya mampu didapat ketika Islam menjadi
bingkai kehidupan dalam naungan Khilafah Islamiyah.