Oleh: Ummu Farhan
Sepertinya sulit bagi Indonesia untuk menjadi negara berdaulat meskipun 75 tahun sudah menyatakan kemerdekaan. Indonesia sebenarnya baru merdeka dari penjajahan militer saja. Adapun kemerdekaan secara politik dan ekonomi, Indonesia masih tertatih-tatih meraihnya.
Dalam konflik Laut Cina Selatan (LCS) sikap pemerintah Indonesia pasca kedatangan Menlu Amerika Serikat (AS) akhir Oktober ini tampak lebih merapat ke Amerika Serikat. Seolah tak ingin menampakkan secara terang-terangan sikap Indonesia untuk face to face dengan Cina. Di antara ketegangan Cina-AS, Indonesia memilih berdiri antara dua kaki bukan karena politik luar negeri bebas aktif, namun lebih karena soal ekonomi.
Ragam Kesepakatan
Menlu Indonesia telah mengundang investor AS untuk berinvestasi di Kepulauan Natuna pada saat lawatan Menlu AS Mike Pompeo ke Indonesia. (29/10/2020). Menlu Retno ingin Indonesia turut berkontribusi untuk memperkuat rantai pasokan global dan mempercepat pemulihan ekonomi.
Retno juga menyinggung soal Generalized System of Preferences (GSP) dari AS. Sejak awal tahun lalu AS sudah mencoret RI dari daftar negara berkembang. Indonesia merasa rugi tak mendapat fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima yang diberikan negara maju. Indonesia ingin pemerintah AS meninjau ulang kebijakannya melalui United States Representative (USTR) terkait pemberian fasilitas GSP.
Mengenai kerja sama pertahanan, Menteri Pertahanan RI sudah langsung mengunjungi AS bulan ini dan bertemu dengan berbagai mitra AS termasuk Menteri Pertahanan AS. Antara lain dengan memperkuat kemampuan pertahanan dan pengadaan militer untuk mencapai Minimum Essential Force, pelatihan dan latihan, sharing intelijen, dan kerja sama keamanan maritim di kawasan.
Menyoal tentang people-to-people contact, Retno mendorong finalisasi nota kesepahaman tentang pendidikan dengan cara mengeluarkan visa untuk pelajar Indonesia yang telah ditahan karena pandemi Covid-19. Adapun bidang kesehatan, kerja sama RI-AS berupa penyediaan 1.000 ventilator.
Masih Soal Politik Belah Bambu
Selain bertemu Menlu, Pompeo mampir ke Gerakan Pemuda (GP) Ansor menggelar pertemuan dengan tajuk, “Nurturing The Share Civilization Aspirations of Islam Rahmatan Lil Alamin The Republic of Indonesia and The United Stated of America” di Hotel Four Season. (29/10/2020)
Ketum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas beralasan pertemuan tersebut karena GP Ansor memiliki beberapa kesamaan tujuan dengan AS. Ansor ingin agar citra soal Islam, terutama di dunia Barat tidak melulu menampilkan kekerasan dan teror. Islam yang didakwahkan ulama di Indonesia adalah Islam yang moderat, berbeda dengan Islam di dunia Barat seperti kejadian terakhir di Paris, Prancis.
Yaqut lupa daratan soal peristiwa Prancis. Awal peristiwa karena kasus penghinaan terhadap Nabi. Guru bernama Samuel Paty yang mengajar di kelas kebebasan berpendapat menunjukkan kepada siswanya beberapa karikatur Nabi Muhammad Saw. yang telah diterbitkan majalah satire Charlie Hebdo pada 2015. Pembunuhan Samuel Paty bukan aksi terorisme sebagaimana yang dituduhkan Barat.
GP Ansor semakin menunjukkan ketidakjelasan posisinya sebagai umat Muhammad Saw. Dalam Islam, hukuman yang layak bagi penghina Nabi adalah dibunuh. Muslim pembunuh Samuel sebenarnya menunjukkan ekspresi kecintaan mendalam terhadap Rasulullah Saw. Ini seimbang dengan ekspresi kebebasan berpendapat yang dipuja-puja masyarakat sakit Eropa.
Pertemuan Pompeo semakin menguatkan tradisi politik belah bambu di bawah komando AS. Negara terorisme ini ingin memecah belah perasaan dan kesatuan umat. Islam dikerat-kerat dengan label Islam radikal dan Islam moderat. Secara arogan Pompeo menyiratkan pesan, bila tak ingin disebut radikal berdirilah bersama AS menjadi Islam moderat.
Indonesia Diobral
Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi AS ke Indonesia sebesar 279 juta dolar AS pada kuartal III 2020 untuk 417 proyek menempati posisi ke-7 negara dengan investasi terbesar. Sedangkan pada triwulan pertama lima negara PMA yang menjadi penyumbang terbanyak berasal dari Singapura mencapai 2,7 miliar dolar, Tiongkok 1,3 miliar dolar, Hongkong 0,6 miliar dolar, Jepang 0,6 miliar dolar lalu Malaysia 0,5 miliar dolar.
Investasi PMA yang masuk di triwulan I sebagian besar berada pada sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya, yaitu 1,5 miliar dolar dengan total 323 proyek. Kemudian, investor asing juga telah menanamkan modalnya ke sektor listrik, gas, dan air sebesar 868,6 juta dolar atau 220 proyek serta sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi 806 juta dolar sebanyak 346 proyek.
Selanjutnya, sejumlah PMA juga masuk pada sektor perumahan, kawasan industri, dan perkantoran sebesar 602,9 juta dolar dengan total 490 proyek, serta industri kimia dan farmasi sebesar 569,4 juta dolar dengan jumlah 508 proyek. Hampir tak ada sektor yang steril tanpa dijamah investasi asing. Indonesia laris terjual.
Bahaya Investasi Asing
Sesungguhnya pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara.
Adapun saat kekayaan negeri dikuasai penanaman modal asing, maka ekonomi secara keseluruhan -hulu sampai hilir- menjadi ekonomi bangsa lain. Perhitungan ekonomi tiada lain hanyalah menghitung ekonomi bangsa lain. Perhitungan PDB sejatinya hanya menghitung produksinya orang-orang asing yang beroperasi di Indonesia, tidak mencerminkan produksi bangsa sendiri.
Posisi geostrategi, kekuatan sumber daya alam dan sumber daya manusia serta market terbesar di antara ekonomi APEC membuat AS dan negara imperialis lainnya tergiur untuk tetap mempertahankan investasi di Indonesia. Indonesia menjadi objek bancakan bahkan diperalat sebagai pion yang dimainkan untuk menjadi tumbal pada akhir permainan.
Semua ini terjadi karena Indonesia krisis visi, kehilangan ideologi. Selama Indonesia tak mau mengambil ideologi Islam sebagai ideologi negara, maka selamanya Indonesia akan menjadi negara pengekor.
Tidak ada negara pengekor yang berdaulat dan mandiri dalam mengambil kebijakan politik, ekonomi, pertahanan keamanan, selain hanya sendika dhawuh terhadap arahan Tuan Besar yang berideologi kapitalisme.
Baik negara kapitalisme Barat maupun Timur, semuanya sama saja menjadikan imperialisme menjadi jalan untuk memeras kekayaan negara lain. Indonesia butuh negara berideologi rahmatan lil aalamiin. Kebodohan negeri Muslim selama ini terletak pada cita-citanya menebar rahmat ke seluruh dunia namun membenci ideologi dan negara penebar rahmat, yakni Islam dan Khilafah.
Khilafah Sang Pembebas
Kaum Muslim diharamkan memberikan jalan kepada orang kafir untuk mendominasi dan menguasai kaum Mukmin. Sebagaimana firman Allah SWT,
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin.” (QS an-Nisa’: 141)
Maka Khilafah yang akan berdiri ini, dengan menerapkan seluruh syariat Islam akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri. Khilafah akan mengoptimalkan potensi baik sumber daya alam juga sumber daya manusia sesuai tuntunan Islam dengan menjaga kelestarian alam juga tanpa memperbudak tenaga rakyat.
Khilafah akan berupaya membebaskan negeri-negeri Muslim dari berbagai perjanjian luar negeri yang menjerat. Pengelolaan sistem keuangan negara berbasis syariah menjadikan pemasukan rutin dalam APBN negara sangat besar.
Pemasukan yang banyak itu berasal dari pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Selain itu kebutuhan dana negara yang sangat besar dapat ditutup dengan penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, gas alam, maupun barang-barang tambang lainnya.
Inilah gambaran negara Khilafah dengan konsep pengelolaan negara ideal. Sangat rugi Indonesia sebagai negeri berpenduduk muslim mayoritas tak segera mengambil penerapan syariat Islam secara kaffah beserta sistem pemerintahannya, yakni Khilafah.
Wallahu'alam bishawwab.