Merdeka Belajar, Tapi Tak Bebas Kritik Rezim?



Oleh : Irayanti S.AB
(Aktivis Dakwah Literasi)


Gelombang penolakan UU Cipta Kerja yang dianggap kontroversial muncul di berbagai daerah sejak 6 Oktober yang diikuti oleh massa dari elemen buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat. Menurut pemerintah, banyaknya 'hoax' tentang ciptaker dituding sebagai pembakar amarah massa hingga terjadi kericuhan. Padahal sampai saat ini, draft final Ciptaker pun masih berpolemik. Kalau sudah tau api bisa terbakar lebih besar jika terkena bensin, janganlah disiram bensin lagi. Sudah tau RUU belum final kenapa disahkan? Ambyar!

Fenomena maraknya pelajar dalam demonstrasi mulai mencuat tahun lalu, ketika ratusan pelajar sekolah menengah atas dan sekolah teknik menengah (STM) turut serta dalam demonstrasi penolakan revisi UU KPK. Para pelajar hingga rakyat memang memiliki kebebasan untuk berpendapat di depan publik.

Namun, menelisik kembali jargon Merdeka Belajar yang diusung Mendikbud Nadiem Makarim dalam dunia pendidikan, nampak para pelajar terpasung untuk mengkritik rezim. Hal ini dibuktikan dengan perlakuan pemerintah dalam menangani pelajar yang ikut demo.

Kebijakan Tega

Sejumlah pelajar yang mengikuti demo tolak Ciptaker terancam kehilangan Kartu Jakarta Pintar dan di blacklist dalam pengurusan surat kelakuan baik atau Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Ini akan membuat para pelajar akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Kepolisian mengklaim kebijakan itu akan ditempuh untuk memberikan "efek jera" kepada para pelajar tersebut,

Bambang Rukminto sebagai pengamat kepolisian dari Institut for Security Strategic Studies (IseSS) menjelaskan, perlunya kehati-hatian dari kepolisian menangani para pelajar yang ikut demo. Unjuk rasa bukan pelanggaran hukum, melainkan perbuatan legal yang dilindungi undang-undang. Bambang menganggap tindakan polisi tersebut menunjukkan ketidakpahaman atas demokrasi bahkan antidemokrasi.

Komisioner KPAI Jasra Putra menyebut pencatatan di SKCK itu akan membuat pelajar kesulitan bekerja di sektor formal yang mensyaratkan calon pekerjanya bersih dari catatan kriminal. Padahal anak-anak di satu sisi masih punya masa depan, masih punya waktu untuk memperbaiki. Tapi catatan dugaan pindak pidana itu muncul di SKCK mereka. Tentu di masa depan, mereka menjadi tidak bisa bekerja di sektor formal," ujar Jasra Putra kepada BBC News Indonesia, Rabu (14/10).

Jika kita telisik kebijakan ini sangat tega. Seorang narapidana penista agama kenapa bisa diberi jabatan tinggi di perusahaan BUMN? Apa karena tak sejalan dengan rezim, hingga siapapun diberangus kebebasan berpendapatnya?

Sayangnya, para pejabat negara hingga aparat penegak hukum dalam demokrasi memang sering tidak konsisten. Mereka seenaknya berbuat tanpa berpikir tentang aturan yang mereka buat sendiri. Mengetok palu ditengah malam tanpa kejelasan aturan yang mereka buat lalu marah-marah saat dikritik rakyat yang seyogyanya ia wakilkan dalam demokrasi. Tak berlebihan, jika kita katakan demokrasi “bullshit”.

Demokrasi Tak Menjamin kebebasan Berpendapat?

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan jargon Merdeka Belajar yang diusung Mendikbud Nadiem Makarim juga dianggap gagal sebab pada kenyataannya makin banyak larangan yang membuat belajar tak lagi merdeka. Beliau menyebutkan pula 'Merdeka belajar' adalah produk kebijakan gagal karena dari awal sudah bermasalah. Mulai dari namanya yang ternyata merek dagang swasta, kampus merdeka yang melarang mahasiswa demo, dan lainnya. (Suara.com,21/10/2020)

Kondisi ini makin diperparah dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja, karena masih ada pasal 26 yang memasukkan entitas pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha dan pasal 65 yang mengatur pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Sampai saat inipun UU Cilaka ini tiada kejelasan. Benar-benar celaka!

Pasal pendidikan di UU Cipta kerja adalah kado satu tahun Jokowi-Amin. Kado yang menyengsarakan rakyat. Pendidikan tidak lagi menjadi hak rakyat dan tanggung jawab negara tapi berubah diserahkan ke pasar bebas yang komersil. (Suara.com,21/10/2020)

Kemendikbud sudah membuat program "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka" yang menjadi slogan dimana-mana. Tapi, surat yang dikeluarkan Kemdikbud agar kampus mengsosialisasikan RUU Cipta Kerja yang draftnya belum final saat disahkan, merupakan bentuk "intervensi" nyata Kemendikbud. Memasung kemerdekaan kampus dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai wujud Kampus Merdeka.

Menurut Satriawan, koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) dirilis oleh Republika.co.id (12/10/2020), kampus sudah semestinya menyiapkan para generasi muda yang berperan sebagai intelektual organik, intelektual yang senafas dengan rakyat, betul-betul merasakan apa yang dirasakan para buruh, masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan lainnya yang merasa dirugikan UU Ciptaker ini. Apalagi, mestinya mahasiswa belajar tak hanya di ruang kuliah yang terbatas tembok.

Hakikat makna merdeka belajar sejatinya agar rezim bebas/merdeka mengeksplore potensi anak-anak untuk kepentingan kapitalisme. Pengekangan nalar kritis pelajar dan mahasiswa agar menjadikan mereka individualis dan hilang nalar kritis. Demokrasi tidak lepas dari sistem kapitalisme. Aturn buatan manusia memang menyengsarakan umat.

Islam Mewujudkan Perubahan Hakiki 

Aksi demo para pelajar dan mahasiswa menunjukkan kepeduliannya terhadap bangsa. Bukan sekadar simpatik, tapi berani turun ke jalan menyuarakan aspirasi. Meski jauh dari harapan karena unjuk rasa yang dilakukan sering berakhir ricuh. Tentu hal ini harus menjadi perhatian banyak pihak, agar mengarahkan pelajar dan mahasiswa ke arah pergerakan perubahan dan melek akan politik agar berbuat yang baik. Tentu untuk mewujudkan sistem Islam karena demokrasi sangat rusak.

Bukan hal yang salah jika generasi muda melakukan aktivitas politik, mengoreksi kebijakan penguasa yang tidak membela kepentingan umat atau lalai mengurusi kepentingan umat dan berlaku zalim.Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim, dan lainnya)

Demokrasi dan aturan buatan manusia tidak akan membawa suatu perubahan terbaik bagi manusia. Dalam sistem demokrasi agama dipinggirkan, agar tidak turut mengurusi urusan kehidupan. Hanya menjadikan Islam lah sebagai landasan berpikir yang akan membawa umat kepada perubahan hakiki. 

Islam telah membuktikan dapat merubah bangsa Arab jahiliyah menjadi bangsa yang diperhitungkan di mata dunia. Bahkan Islam pernah menjadi role mode selama hampir 14 abad dengan menguasai 2/3 dunia. Para pemudanya pun turut andil dalam kejayaan Islam, sebut saja Mushab bin Umair duta politik muda yang mengenalkan perubahan hakiki (islam) kepada masyarakat Madinah, Muhammad Al-Fatih sang penakluk Konstantinopel, para ilmuwan dan masih banyak lagi. Kembalilah kepada aturan Islam itulah sebaik-baik aturan. Jangan sia-siakan potensi mudamu untuk berharap pada demokrasi. Sudah saatnya kita mewujudkan sistem Islam, itulah perubahan sebenar-benarnya.

Wallahu a'lam bishowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak