Oleh : Ummu Hanif, Pengamat Sosial Dan Keluarga
Sebagai negara yang konon menjunjung tinggi UUD 1945, dimafhumkan bersama kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum telah memiki legitimasi keabsahan resmi yang dijamin secara konstitusional didalam UUD 1945 untuk memberikan perlindungan (to protect), penghormatan (to respect), pemenuhan (to fullfil) terhadap kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Setiap warga negara diberi ruang untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum secara bebas tanpa ada paksaan, tekanan, hambatan dalam menuangkan ide dan gagasan dengan bentuk lisan ataupun tulisan, selagi kebebasan bependapat itu tidak dimanifestasikan dalam bentuk tindakan yang merugikan salah satu pihak ataupun negara.
Secara eksplisit di tegaskan dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 (amandemen ke-4) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dan juga yang menjadi dasar pijakan dalam kebebasan mengeluarkan pendapat tertuang di dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) berikut: “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, secara lisan dan tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Kedua pasal ini secara prinsip meneguhkan pendirian bahwa berpendapat bukanlah sesuatu yang dilarang oleh negara melainkan bersifat sah untuk dikemukakan, UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia memberikan jaminan dan payung hukum kepada siapa saja “warga negara” boleh dan berhak mengeluarkan pendapat secara merdeka tanpa ada tekanan dan intimidasi.
Namun, kebebasan berpendapat baru-baru ini menjadi kajian dan isu faktual yang paling disorot ditengah pandemi oleh berbagai kalangan. Pasalnya kebebasan telah kehilangan makna dan keberadaan di negara yang katanya demokratis
Lembaga Indikator Politik Indonesia mencoba menggambarkan demokrasi Indonesia dengan melakukan survei opini publik, salah satu variabelnya adalah hak menyatakan pendapat. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan pihaknya menanyakan setuju atau tidaknya responden dengan adanya pernyataan bahwa masyarakat semakin takut dalam menyatakan pendapat, (merdeka.com/25/10/2020).
Survei yang dilakukan via panggilan telepon pada 24 September hingga 30 Sepember 2020 dengan menggunakan metode simple random sampling sebanyak 1.200 responden. Hasilnya, mayoritas setuju bahwa kebebasan sipil mulai terganggu.
Tak heran jika survei ini sejalan dengan rentetan tudingan publik bahwa rezim saat ini identik dengan rezim orde baru di era presiden ke-2 Soeharto. Menurut pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, terdapat tiga indikator yang bisa mengkonfirmasi tudingan publik bahwa rezim Jokowi identik dengan orba,(cnn.indonesia.com 22/10/2020).
Indikator yang pertama, pembatasan kebebasan sipil. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana cara rezim dalam merespon kritik publik, baik dari langkah mengkondisikan media masa hingga mengkriminalisasi aktivis.
Indikator kedua, menurut Khoirul dapat dilihat dari bagaimana cara rezim memanfaatkan aparat penegak hukum guna menciptakan stabilitas keamanan dan politik. Indikator ini telah dikonfirmasi oleh sejumlah elemen masyarakat, mengingat banyak terjadi penangkapan sejumlah masyarakat yang melakukan kritik kepada rezim melalui media sosial.
Indikator yang terakhir menurutnya terlihat dari “perselingkuhan” antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin nampak terjadi. Perselingkuhan itu terlihat jelas sejak pengesahan revisi UU KPK hingga pengesahan UU Minerba dan UU Ciptaker. Khoirul mengatakan sikap Jokowi ini kemungkinan lahir dari cara pandang politik terkait pembangunan dan kepercayaan diri bahwa gerakan sosial masyarakat mudah dijinakkan.
Kalau kita mau jujur, sejatinya jika kesejahteraan sudah didapat oleh masyarakat, rasanya tidak mungkin rakyat berbondong-bondong menyampaikan kritik dan keluhannya. Namun kesejahteraan rakyat dalam sistem demokrasi nampaknya mustahil tercapai. Karena, sistem demokrasi justru melahirkan negara korporasi yang tujuan kekuasaannya hanya untuk mendatangkan keuntungan bagi sebagian golongan, terutama bagi “pemberi modal” saat menuju jalan meraih kekuasaan.
Berbeda halnya dengan Islam, pemimpin negara (khalifah) adalah pelayan masyarakat, di bai’at oleh umat untuk mengurusi urusan masyarakat berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah Saw. Maka segala kebijakan yang diputuskan oleh khalifah semata-mata demi kepentingan masyarakat, bukan yang lain. Sesuai dengan sabda Nabi Saw, “Imam (khalifah, penguasa) yang memimpin manusia adalah laksana seorang penggembala, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya, (HR. Muslim).
Namun, apabila dalam penerapannya khalifah melakukan kelalaian, khalifah terbuka untuk dikoreksi. Karena dalam sistem khilafah terdapat mekanisme kontrol (muhasabah) jika khalifah lalai dalam menjalankan kewajiban, serta menyampaikan pengaduan (syakwa) kepada khalifah atas sesuatu yang menimpa rakyat akibat dari kezaliman yang menimpa mereka.
Jika pun terdapat perbedaan pendapat antara rakyat dan penguasa, maka penyelesaiannya akan dikembalikan kepada syariat Islam seperti halnya firman Allah Swt, “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu, (QS. al-Maidah:48).
Itu semua merupakan jaminan untuk memastikan tegaknya sistem Islam yang benar dan konsekuen ditengah masyarakat, serta mewujudkan keadilan menyeluruh dan menghilangkan kezaliman.
Wallahu A’lam bi ash showab