Menolak Intervensi Asing Berkedok Kerjasama





Oleh: Candra Windiantika


Tak terasa bahwa negara ini sudah berusia 75 tahun sejak diproklamirkannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 lalu. Usia yang cukup tua bila disandingkan dengan usia manusia. Akan tetapi, sudahkah masyarakat benar-benar merasakan kemerdekaan?

Indonesia memang sudah merdeka, dalam artian terbebas dari penjajahan bangsa lain secara fisik dan mendapatkan pengakuan dari bangsa lain. Namun pada praktiknya, negara ini belum benar-benar merdeka dari intervensi asing. Indonesia belum bisa bebas dari ketergantungan terhadap asing. Contoh utamanya adalah dalam hal investasi. Bangsa ini masih mengharapkan investasi dari negara lain untuk pembangunan.

Baru-baru ini Menteri Luar Negeri China, Wang Yi bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan di Provinsi Yunnan, China barat daya pada Jumat (9/10/2020).

Melansir Xinhua News, Sabtu (10/10/2020) yang dikutip Kompas.com, Menko Luhut merupakan utusan khusus Presiden Indonesia Joko Widodo sekaligus berperan sebagai Koordinator Kerja Sama Indonesia dengan China.

Dalam pertemuan tersebut, Luhut dan Menlu China membahas sejumlah isu. Keduanya menggarisbawahi pentingnya untuk kedua negara bersinergi lebih erat pada tatanan bilateral, regional dan multilateral, khususnya dalam menghadapi situasi dunia yang tidak menentu akibat pandemi Covid-19.

Pemerintah Indonesia dan Cina terus meningkatkan kerja sama dalam menghadapi pandemi Covid-19. Kerja sama tersebut menyangkut perdagangan, investasi, kesehatan, pendidikan dan riset sampai vaksin.

Luhut mengatakan, Indonesia bersedia fokus memperkuat kerja sama vaksin dan kesehatan dengan China, menandatangani dokumen kerja sama Belt and Road Initiative dan Global Maritime Fulcrum sejak dini, serta bersama-sama menjunjung multilateralisme.

Seperti yang sudah kita ketahui, hubungan bilateral Indonesia dan Cina terlihat semakin erat di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Padahal di sisi lain, banyak pihak justru mengkhawatirkan ekspansi ekonomi Cina bisa membuat negara lain terjerumus dalam jerat hutang.

Hubungan erat Indonesia-Cina di berbagai bidang termasuk ekonomi nyatanya semakin memperbesar potensi intervensi hingga penjajahan oleh asing.

Tidak ada makan siang gratis. Begitulah watak sistem kapitalisme. Kerjasama yang sarat dengan pinjaman (investasi asing) yang diberikan tentunya ada syarat yang harus dipenuhi.

Misalnya adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina.

Menurut Abdurrahman Al Maliki dalam bukunya yang berjudul Politik Ekonomi Islam, utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya bagi eksistensi negeri muslim. Utang antar negara menjadi jalan untuk menjajah negara yang berhutang.

Kondisi keuangan negara saat ini adalah besarnya jumlah utang dalam APBN, yang berdampak pada besarnya defisit anggaran dari waktu ke waktu. Defisit yang terus terjadi ditutup lagi dengan andalan pembiayaan yang berasal dari utang, sehingga Indonesia semakin jauh masuk kedalam perangkap utang.

Hal ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negara saat ini telah gagal menyejahterakan rakyat. Sumber daya alam yang harusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat malah diserahkan kepada pihak swasta. Jika utang negara semakin menumpuk maka untuk menambah pemasukan negara, rakyatlah yang akan semakin terbebani dengan pajak yang semakin melambung.
Utang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga(riba) dan bunga yang ditetapkan sangat mencekik. Hal ini akan menjadi pintu masuk kehancuran negara-negara yang sedang mengalami krisis ekonomi, karena tidak ada unsur tolong menolongnya. Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu sebagaimana Allah swt. berfirman dalam QS. Al Baqarah(2): 275.

Maka tidak ada jalan lain untuk menyudahi penjajahan berkedok kerja sama ini kecuali dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Sistem yang nantinya akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri sesuai dengan Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia negeri ini, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam.

Dengan pengelolaan sistem keuangan negara berbasis syariah, maka akan diperoleh pemasukan rutin yang sangat besar dalam APBN negara yang berasal dari pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat.

Abdul Qadim Zallum dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah mengemukakan, bahwa kebutuhan dana negara yang sangat besar juga dapat ditutup dengan penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, gas alam maupun barang-barang tambang lainnya. Tentu hanya bisa terlaksana, jika elit politiknya berkemauan kuat untuk mengelola sumberdaya alam secara mandiri (tidak bermental terjajah). Dan bukan malah menyerahkannya kepada negara lain.
Wallahu A'lam Bishawab.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak