Oleh : Ummu Farhan
Kompas.com - Menkeu Sri Mulyani dalam webinar Simposium Nasional Keuangan Negara (SNKN) Rabu, 14/11/2020 secara virtual mengatakan bahwa pandemi Covid 19 diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Meskipun ada upaya penemuan vaksin, akasn tetapi keberadaan vaksin tersebut masih belum jelas.
Disinyalir, hingga tahun depan vaksin tersebut belum tentu bisa dilakukan secara serentak dan merata.
Vaksin yang dipesan Indonesia pun, kata Sri Mulyani, masih belum mendapatkan persetujuan dari BPOM. “[…] nanti diberikan use authorization-nya (izin penggunaan) oleh Badan POM, sehingga sudah aman dan melakukan vaksinasi,” kata Sri Mulyani melanjutkan.
Diketahui, saat ini banyak negara di dunia yang sedang menghadapi gelombang kedua pandemi, seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Inggris, Italia, hingga Spanyol yang saat ini menghadapi situasi yang lebih rumit. Menurutnya, pelaku usaha yang tak lagi mau menutup kembali usaha mereka menyebabkan masalah dari segi sosial, ekonomi, hingga politik.
Upaya Nonfarmasi
Berdasarkan fakta pandemi dan upaya pemberantasannya, baik dari aspek paradigma dan fakta empiris, upaya asal mengatasi pandemi (pemberantasannya) bukanlah dengan vaksin atau program vaksinasi. Akan tetapi dengan upaya nonfarmasi disertai jaminan pelayanan kesehatan gratis berkualitas.
Upaya tersebut seperti penguncian (syar’i lockdown), social distancing, karantina, dan berpola hidup sehat termasuk pelaksanaan protokol kesehatan. Sementara upaya contact tracing (penelusuran kontak), testing massive, dan treatment berupa pelayanan kesehatan gratis berkualitas, dioptimalkan untuk kesuksesan upaya nonfarmasi tersebut.
Tindakan nonfarmasi ini merupakan syariat Islam untuk memutus rantai penularan secara efektif. Secara saintifik membuktikan, satu strategi saja yaitu lockdown, mampu mencegah kasus ekspor/impor hingga 81% dan kemunculan kasus baru hingga 71%.
Hanya saja, dibutuhkan kepemimpinan global. Karena jika tidak dilakukan secara sinkron di seluruh dunia, melalui kasus impor/ekspor baru pandemi justru semakin memburuk sebagaimana yang kita saksikan hari ini.
Kapitalisme sebagai sistem yang diterapkan saat ini, bukan hanya tidak serasi (compatible) dengan upaya nonfarmasi, namun juga gagal melakukannya secara sinkron.
Sistem kesehatan kapitalisme pada kondisi normal saja sangat rapuh dan buruk, apalagi pandemi seperti saat ini.
Hal ini dapat dilihat dari mahalnya biaya pelayanan kesehatan Covid-19, mulai dari rapid test, swab PCR, hingga obat-obatannya. Juga terlihat dari krisis pelayanan kesehatan kronis berupa buruknya akses publik, biaya mahal, kurang bahkan tidak standarnya fasilitas kesehatan, tenaga dokter dan tenaga kesehatan lain yang kurang, juga keterbatasan laboratorium untuk rapid test maupun swab PCR.
Sangat nyata bahaya pengabaian tindakan nonfarmasi karena telah membuka ruang kapitalisasi kesehatan yang difasilitasi model kekuasaan korporatokrasi yang niscaya dalam sistem politik demokrasi.
Artinya, pemberantasan pandemi dengan mengandalkan vaksin dan abai terhadap tindakan nonfarmasi tidak saja bertentangan dengan fakta persoalan pandemi, namun juga merupakan kelalaian yang berakibat fatal dan kezaliman pemerintah yang luar biasa.
Kalau saja, jika pandemi dapat dicegah dari berlarut-larut. Namun, sekarang sudah menjelang setahun dan telah membunuh puluhan juta orang dan menginfeksi ratusan juta manusia di dunia.
Watak Kapitalisme
Begitulah karakter rezim sistem kapitalisme. Tidak saja di negeri ini, namun juga di seluruh penjuru dunia. Mengenai vaksin yang menjadi andalan penguasa memberantas pandemi,
kalaupun lolos uji klinis III, tapi efektivitas vaksin yang kurang dari 50% menyebabkan pemberantasan Covid-19 tidak efektif dan kurang berfaedah.
Tidak efektif jika mengandalkan pemberantasan pandemi pada vaksinasi. Selain itu butuh waktu yang sangat panjang untuk dimulainya tindakan pemberantasan. Padahal, tindak pemberantasan harus dilakukan segera dan secepat mungkin mengikuti konsep golden periode suatu tindakan.
Karenanya untuk mengakhiri pandemi, butuh kehadiran negara adidaya baru berkarakter menyejahterakan. Juga berkapasitas menerapkan tindakan farmasi dan nonfarmasi, dan mampu memimpin secara sinkron tindakan pemberantasan ini bagi dunia.
Karakter ini hanya dimiliki negara Khilafah. Hanya Khilafah yang mampu menjadi solusi hakiki dalam menyelesaikan masalah pandemi. Sehingga negara tidak akan mengalami krisis dalam ekonomi.
Wallahu'alam bishawwab.