Oleh : Ummu Hanif, Pengamat Sosial Dan Keluarga
Indonesia akan melakukan perhelatan hajat “pesta demokrasi lokal” yang disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada akhir tahun 2020 ini. Sementara itu, bisa kita rasakan, atmosfir musim obral janji politik sudah mulai terasa sejak pertengahan tahun 2019 yang lalu hingga saat ini.
Obral janji politik terjadi sejak masa filterisasi bakal calon untuk mendapatkan “tiket” rekomendasi partai bagi yang hendak mencalonkan diri melalui kendaraan partai politik dan dukungan melalui pengumpulan kartu tanda penduduk (KTP) bagi yang hendak berangkat melalui jalur perseorangan/independent. Mereka mengobral janji, tiada lain agar rakyat yang memiliki hak pilih terhipnotis dan pada akhirnya mau memilihnya.
Bagi sebagian rakyat, tahapan kampanye memang menjadi hal yang dianggap penting bagi rakyat. Melalui kampanye para calon kepala daerah memberitahukan kepada rakyat tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih. Bagi sebagian rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan, memilih atau tidak.
Topik pembicaraan calon kepala daerah dengan rakyat relatif sama, setiap kali berkampanye dari satu pilkada ke pilkada berikutnya. Paling diandalkan, terutama bagi kandidat petahana adalah komitmen melanjutkan program yang sudah dianggap sukses. Dengan terus melanjutkan program yang sudah ada akan lebih nyata hasilnya. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas begitu janjinya.
Yang sering dibahas diantaranya adalah pemberdayaan ekonomi keluarga dan emak-emak seperti halnya meningkatkan usaha kecil untuk tambahan penghasilan keluarga. Selain itu terkait pelayanan publik seperti, jaminan kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan. Selebihnya, lebih kasuistik dan spesifik terkait permasalahan yang dialami rakyat di wilayahnya. Tanggung jawab moral kandidat petahana tentunya lebih berat karena sudah pernah dijanjikan sebelumnya.
Namun beberapa fakta menunjukan bahwa ketika mereka sudah terpilih dan duduk pada tahta singgasana kepala daerah, seringkali lupa atau pura-pura lupa terhadap janji-janji yang pernah diobralkan dihadapan masyarakat pada saat melakukan kampanye baik yang dilakukan oleh calon itu sendiri maupun oleh tim suksesnya termasuk oleh partai-partai pengusung maupun pendukungnya.
Sejatinya rakyat yang masih percaya pada janji politik, adalah mereka yang ingin menitipkan harapan besar akan nasib rakyat pada calon pemimpinnya. Kepercayaan yang tentu menjadi amanah yang harus ditunaikan. Apalagi semua janji akan dimintai pertanggungjawaban oleh Penguasa alam semesta, Allah SWT.
Allah SWT berfirman di dalam surat An-Nahl ayat 91:
“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah, setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Jadi, dalam Islam, hukum berjanji adalah boleh (jaiz) atau disebut juga dengan mubah. Tetapi hukum memenuhi atau menepatinya adalah wajib. Melanggar atau tidak memenuhi janji dalah haram dan berdosa. Berdosanya itu bukan sekadar hanya kepada rakyat yang dijanjikan tetapi juga kepada Allah swt. Menunaikan janji adalah ciri orang beriman, sebagaimana diungkapkan Allah dalam surat Al-Mukminun ayat 8. Salah satunya yang paling utama orang-orang beriman adalah mereka yang memelihara amanat dan janji yang pernah diucapkannya.
Allah SWT berfirman :
“Telah beruntunglah orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.” (TQS al – mukminun ayat 8)
Jadi, bagi para pengobrla janji politik, ingatlah bahwa dalam perjanjian, ada perdagangan dengan Allah, yang tentu saja urusannya tidak hanya di dunia, tapi sampai di akhirat. Dan bagi rakyat, tentu perlu berpikir ulang, akankah terus mengulangi hal yang sama secara terus menerus? Bukankan kebodohan, jika mengulangi hal yang sama dengan harapan mendapat hasil yang berbeda? Wallahu a'lam bishoab.