Oleh: Astri D A
“Demokrasi harus
berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga Negara tanpa
membedakan latar belakang ras, suku agama dan asal muasal, di muka
undang-undang” (Gus Dur).
Kutipan Gus dur
tersebut menggambarkan kebalikan wajah
demokrasi Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi saat ini. Rentetan
tudingan bahwa rezim Joko Widodo identik dengan zaman Orde Baru di era
Presiden ke-2 RI Soeharto terus terdengar di momen satu tahun pemerintahannya
bersama wakil presiden Ma’ruf Amin. Presiden Jokowi dipandang sedang
menjalankan doktrin Soeharto, ketika kekuasaan menganggap pembangunan akan
bertumbuh bila stabilitas ekonomi-politik terjaga. (CNN Indonesia.com 21/10/2020).
Gencarnya
kritikan aktivis dan tokoh politik terhadap kebijakan penguasa dibalas dengan
framing negatif, intimidasi dan penangkapan. Kasus terbaru adalah ditangkapnya
delapan aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) akibat aktivitas
kritis mereka pada rencana pengesahan beberapa produk regulasi kontroversial
seperti RUU Minerba, RUU KPK dan yang terbaru RUU Cipta Kerja. Bahkan di
beberapa tempat aktivitas demontrasi terhadap rencana pengesahan regulasi
kontroversial tersebut berakhir dengan bentrok akibat sikap represif dari
aparat keamanan. Kebebasan berpendapat yang sejatinya merupakan bagian dari
pilar utama demokrasi, saat ini seperti hanya sebuah pepesan kosong apabila itu
berkaitan dengan kritik terhadap kebijakan penguasa. Penegasan terhadap berkurangnya
kebebasan berpendapat di negeri ini dapat dibaca dari hasil survey yang
dilakukan Indikator Politik Indonesia. “Survey menunjukkan meningkatnya ancaman
terhadap kebebasan sipil. Mayoritas public cenderung setuju atau sangat setuju
bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat (79,6 persen),” ujar
Direktrur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam
konferensi pers virtual, Ahad, 25 oktober 2020. Indikator dalam surveinya juga
menyatakan sangat setuju bahwa warga semakin sulit berdemonstrasi hasilnya
sebanyak 20,8 persen, dan 53 persen responden menyatakan agak setuju warga
makin sulit berdemonstrasi. (Tempo.co 22/10/2020).
Demokrasi untuk
korporasi
Slogan demokrasi
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah melekat di benak seluruh
rakyat. Jargon itu kita kenal bahkan sejak masih dalam pendidikan dasar.
Harapannya pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang bisa mewakili suara
rakyat dan bisa mensejahterakan mereka.
Kebebasan berpendapat yang menjadi cirinya menjadikan benteng penjaga
dari demokrasi itu sendiri. Namun apa, semua jauh panggang dari api. Contohnya,
hari ini saat rakyat ingin menyuarakan pendapatnya tentang Omnibus law ternyata
terjadi penolakan dari pemerintah. Bahkan sikap represif aparat digunakan untuk
menekan unjuk rasa menolak Omnibus Law. YLBHI membagi kedalam 11 modus aparat
menghalangi kebebasan berpendapat. Yakni melalui pendidikan, melalui serangan
digital, penghalang-halangan aksi, kriminalisasi, mengubah pemberitahuan
menjadi izin menggunakan alasan covid, Framing dan fitnah pendemo sebagai
perusuh, penggunaan ormas, intimidasi orang tua, menggunakan SKCK sebagai
ancaman agar orang tidak berdemonstrasi, selain itu kriminalisasi lewat UU ITE.
(Tempo.co 27/10/2020)
Kasus Omnibus law benar-benar menelanjangi
hakikat demokrasi. Banyak yang sepakat, UU ini bukan hanya mengancam aspek
social, ekonomi masyarakat bawah tapi juga mengancam keseimbangan alam dan
lingkungan, hingga mengancam keselamatan akidah dan pelaksanaan syariat oleh
umat Islam.
Wajar jika
banyak penolakan dari berbagai pihak, hingga terus menggerakkan berbagai elemen
untuk turun ke jalan. Namun ternyata, demokrasi tak benar-benar memberi ruang
kebebasan berpendapat bagi semua orang. Rakyat harus terus menerima kenyataan
bahwa suara mereka kalah telak oleh kekuatan pemilik modal.
Sejatinya
demikian, faktanya demokrasi hanya dari
korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi. Bagaimana tidak, penguasa saat
ini adalah hasil dari pemenangan oleh para korporat-korporat bahkan pak Mahfud
MD mengatakan “Dimana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan
sesudah terpilih , itu melahirkan korupsi kebijakan,”. Saat menjadi pembicara
dalam diskusi bertema “Memastikan Pilkada Sehat Menjauhkan Covid 19 dan korupsi
(cnn.com 11/09/2020). Bak gayung bersambut, pernyataan Mahfud pun dibenarkan
salah satu pimpinan KPK Nurul Ghufron. Dalam kajian yang pernah dilakukan KPK,
82 persen calon kepala daerah didanai sponsor.
Akhirnya ketika
calon-calon yang di biayai cukong-cukong itu berkuasa maka bukan menjadi
rahasia umum lagi bahwa mereka akan meminta imbal balik, atas dalih kebijakan
penguasa. Maka wajar saja bila Negara ini beralih menjadi Negara korporatokrasi
yaitu pemerintahan yang kewenangannya didominasi atau beralih dari Negara kepada
perusahaan-perusahaan besar sehingga petinggi pemerintah dipimpin secara sistem
korporasi.
Khilafah bukan
Negara anti kritik
Dalam ajaran
islam, kritik termasuk ajaran islam yaitu amar ma’ruf nahi munkar yang terdapat
dalam Al qur’an Surat Ali Imran 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar dan beriman kepada Allah.”
Rasulullah saw,
bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah
(koreksi) kepada penguasa. Al Thariq menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang
laki-laki mendatangi Rasulullah saw., seraya bertanya, “jihad apa yang paling
utama? Rasulullah menjawab, ‘Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada
penguasa yang dzalim.’(HR. Imam Ahmad).
Seorang pemimpin
yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik terlebih jika sampai
membungkam lawan politik dengan kebijakan represif.
Khilafah
menghidupkan Budaya Kritik
Dalam pandangan
Islam, politik Negara adalah meriayah/mengatur urusan umat berdasarkan syariat
Islam untuk kemaslahatan umat. Meskipun aturan hukum yang diterapkan adalah
buatan Alloh, namun kholifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput
dari salah dan lupa. Karenanya kritik bukanlah ancaman , bahkan dibutuhkan sebagai
sarana agar kholifah tetap “on the track” dalam melaksanakan amanah
kepemimpinan yang akan dimintai pertanggungjawaban dunia-akhirat.
Bagaimana sikap
Rasulullah adalah contoh nyata yang patut kita teladani. Saat perang uhud,
beliau menyetujui pendapat para sahabat yang menghendaki untuk menyongsong
pasukan Quraisy di luar kota Madinah, meskipun beliau sendiri berpendapat
sebaliknya.
Sikap Rasulullah
saw, diikuti oleh para khalifah setelah beliau. Khalifah Abu Bakar ra., ketika
di baiat menggantikan Rasulullah, berkhotbah meminta rakyat untuk
mengkritiknya.
“Saudara-saudara,
aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara
kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku
berbuat salah luruskanlah aku.”(Abu Bakar ra.)
Pun juga diikuti
oleh kholifah sesudahnya yaitu Umar bin Khattab. Dikisahkan Khudzaifah bin Al
yaman pernah mendatangi kholifah Umar yang bermuka muram penuh kesedihan. Ia
bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul mukminin?” Kholifah
Umar menjawab, “Aku sedang dihinggapin ketakutan, jika sekiranya aku melakukan
kemungkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku, karena
segan dan rasa hormatnya padaku.” Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika
aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu
wajah khalifah Umar langsung berubah sumringah.
MasyaaAlloh,
begitulah pengaturan Islam dalam hal kritik, perbedaan pendapat adalah hal yang
biasa. Kritik rakyat kepada hukkam atau penguasa bisa di dudukkan dalam pandangan yang sama
yaitu pandangan Islam. Bahwa Islam tidak alergi dengan kritik justru
menjadikannya sebagai bagian dari dakwah.