Membincang Biaya Pesta Demokrasi, Di Tengah Kebingungan Rakyat Akibat Pandemi



Oleh : Ummu Hanif, Pengamat Sosial Dan Keluarga.

Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejumlah ormas islam meminta pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 ditunda. Bukan tanpa alasan, permintaan itu berangkat dari kekhawatiran mereka bahwa ajang Pilkada tahun ini akan meningkatkan kasus Covid-19 di Indonesia. juga berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh KPU. Kalau tidak salah, KPU memiliki ketentuan bahwa Pilkada ini bisa ditunda jika wabah Covid-19 terus meningkat. (www.sukabumiupdate.com, 27/09/2020)

Tetapi, meski dihadapkan pada narasi antara hak hidup vs hak politik masyarakat, pemerintah, DPR, dan KPU tetap memutuskan tidak akan menunda Pilkada tersebut. Pesta demokrasi seolah-olah menjadi harga mati, pandemi yang tengah melanda indonesia nampaknya tetap tak mampu menghentikan pemilihan Pilkada pada Desember 2020 kelak. Bukannya fokus dengan penanganan pandemi di negeri ini, pemerintah justru sibuk menggelar agenda lima tahunan demokrasi sekalipun taruhannya adalah mengorbankan jutaan nyawa rakyat yang saat ini masih kebingungan menghadapi virus mematikan COVID-19.

Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa dana yang dibutuhkan untuk pelaksaan pilkada sangatlah fantastis. Menurut FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), biaya Pilkada untuk kabupaten/ kota menelan setidaknya Rp 25 milyar dan Pilkada Provinsi sebanyak Rp 100 milyar. Sehingga keseluruhan Pilkada di Indonesia menelan setidaknya Rp 17 triliun. Besarnya biaya Pilkada ini sangat membebani keuangan negara dan menjadi sumber kerugian yang besar bagi ekonomi negara. Sedangkan dana sefantastis itu sebetulnya sedang sangat dibutuhkan rakyat untuk dialokasikan dalam penanganan kasus COVID-19, maupun untuk memperbaiki ekonomi masyarkat yang terdampak. (www.detiknews.com, 21/10/2020)

Mahalnya pesta demokrasi bukan hanya dirasakan pemerintah selaku penyelenggara, melainkan para bakal calon kepala daerah pun harus merogoh kantong lebih dalam. Ketua KPK, Firli Bahuri mengungkapkan salah satu persoalan dalam pilkada adalah tingginya biaya politik yang harus disiapkan oleh para calon kepala daerah.  Berdasarkan penelitian KPK, dana yang harus disiapkan untuk mancalonkan diri sebagai kepala daerah adalah sebesar Rp 5-10 miliar. Bahkan jika ingin dipastikan menang dalam pilkada, dana yang harus disiapkan sekitar Rp 65 miliar, (news.detik.com 21/10/2020).

Dalam negara pengusung demokrasi, menjadi hal yang wajar jika para calon mengeluarkan dana yang fantastis guna mengikuti pemililihan umum. Alasan bagi tingginya biaya pesta demokrasi, yang pertama adalah kondisi dimana setiap calon yang ingin maju pada perhelatan pemilu dan bebas hambatan harus mendapat dukungan dari partai politik. Cara paling mujarab untuk mendapat dukungan parpol tidak lain adalah dengan memberikan “mahar politik” yang nilai nominalnya bisa sangat beragam. Partai politik pilihan para calon inilah yang nantinya akan menjadi “kendaraan” maju dalam pencalonan, dan "membantu" para calon pejabat mendapatkan jatah kursi di pemerintahan.

Belum lagi biaya pembuatan atribut kampanye, biaya iklan di media cetak dan elektronik hingga pendanaan bagi tim suksesnya. Bahkan yang tak kalah fenomenalnya adalah keberadaan “politik uang” seperti 'serangan fajar', 'nasi bungkus' ataupun bentuk 'sumbangan' lainnya yang didistribusikan para bakal calon kepada warga agar ia terpilih. Sedangkan pengeluaran lainnya selama pemilu adalah pembiayaan para  saksi di tiap TPS yang menjadi tujuan pada saat pencoblosan dan penghitungan suara berlangsung.

Dari sini kita dapat melihat bahwa untuk sekedar mencalonkan diri sebagai kepala daerah saja, tiap calon harus merogoh kocek sangat dalam. Maka tak heran jika kemudian para calon kepala daerah mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan modal demi bisa maju ke dalam pilkada. Misalnya dengan menjalin kerjasama dengan pihak ketiga dengan syarat-syarat tertentu yang terang saja membuat para pejabat harus 'membalas budi' kepada para penyuntik dana. Bahkan kondisi semacam ini berimbas pada maraknya tindak pidana korupsi saat para calon berhasil menjabat.

Keterkaitan antara mahalnya biaya demokrasi dengan maraknya jumlah kasus korupsi nyatanya bukanlah isapan jempol belaka. Menurut data Kementrian Dalam Negeri sebesar 330 (86,22%) kepala daerah hasil dari pemilihan demokratis tersangkut perkara korupsi. Dalam sistem demokrasi, tindak pidana korupsi kemudian menjadi hal yang wajar guna menutupi besarnya biaya kampanye. 

Berbeda halnya dengan Islam, pengadaan pemilu di dalam sistem Islam dilaksanakan dengan biaya sangat murah.  Adapun pemimpin daerah/ wilayah ditunjuk langsung oleh Khalifah dengan syarat-syarat sama halnya syarat pemimpin, yaitu: harus laki-laki, merdeka, muslim, berakal, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan. Selain itu, wali tidak dihentikan atau dimutasi, selama tidak ada aduan dari rakyat dan atau memiliki udzur dalam menjalankan tugasnya. Sehingga biaya penyelenggaraan negara bisa dikatakan minim. Sangat jauh berbeda dari sistem yang ada di negeri ini. Wallahu a;lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak