oleh: Neng Ipeh*
Maraknya pemberitaan mengenai tindak kejahatan atau kriminalitas di media massa menunjukkan semakin tingginya perilaku merusak yang dianggap melanggar nilai-nilai di masyarakat. Bentuk tindak kejahatan ini pun semakin berkembang tiap harinya baik secara kualitas maupun kuantitas, seperti korupsi, pembunuhan, pelecehan seksual, pencurian, pengedar dan pengguna narkoba, penculikan serta lain sebagainya. Pemberian hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan yang dirasa cukup membantu memberikan rasa adil terhadap masyarakat salah satunya adalah dengan memberikan hukuman pidana penjara. Dimana seorang terpidana dibatasi kebebasannya dalam sebuah Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang mewajibkan mereka untuk menaati semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Bertambahnya jumlah narapidana tentu membuat kita bertanya, apakah penjara mampu menampung semuanya?
Sebagaimana yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Kesambi Cirebon, jumlah yang tertampung ternyata melebihi kapasitas alias overload. Sebanyak 646 narapidana menjalani pembinaan di sana meski lapas tersebut hanya memiliki kapasitas untuk 555 narapidana. Selain itu Lapas Kesambi Cirebon ini menampung narapidana yang hukumnya tinggi, sehingga terdapat pula narapidana yang divonis hukuman mati dan seumur hidup. (radarcirebon.com/09/11/2020)
Menurut data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan hingga Selasa (31/3), total Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di rutan dan lapas di Indonesia sebanyak 270.386 orang, sementara kapasitas lapas dan rutan di Indonesia hanya mampu menampung 131.931 orang. Itu artinya beban rutan dan lapas di Indonesia mencapai 204% bahkan bisa mencapai 300% di beberapa tempat yang ada di Indonesia. (mx2.ditjenpas.go.id/09/11/2020)
Padahal kepadatan narapidana dalam lapas akan berdampak pada standar minimum pelayanan untuk napi, termasuk makan, minum, hingga tempat tidur. Apalagi keberadaan lapas bertujuan untuk mengembalikan fungsi narapidana untuk menjadi seorang yang dapat hidup secara normal sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setelah menjalani masa hukuman dengan pembinaan dan bimbingan. Pembinaan dan bimbingan yang dilakukan kepada narapidana adalah melalui pembinaan kepribadian agar memiliki kesadaran untuk beragama dan kesadaran akan hukum disertai pembinaan kemandirian agar memiliki keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri. Sayangnya, hampir di seluruh lapas overcapacity seperti cerita yang terus diulang-ulang. Akibatnya, fungsi lapas menjadi kurang optimal. Beberapa kasus yang terjadi di dalam lapas bisa menjadi bukti begitu keteterannya para petugas lapas.
Kehidupan yang sekuler dan hukum sanksi yang tak menjerakan, telah menyebabkan manusia ringan dalam melakukan kejahatan. Budaya permisif, individualisme, materialisme, kebebasan bertingkah laku yang dijamin oleh undang-undang ikut menyumbangkan perilaku amoral yang berujung pada kriminalitas. Akhirnya penjara penuh, diisi para penghuni baru dan penghuni lama yang terus mengulang kejahatannya. Realitas merajalelanya kriminalitas telah menunjukkan bahwa eksistensi hukum barat gagal dalam memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat, dan telah gagal pula memanusiakan manusia. Hampir sebagian besar masyarakat bersikap apatis dengan pelaksanaan hukum di negeri ini. Karena mereka menilai hukum yang ada tidak mampu menjadi terminal akhir untuk memperoleh keadilan dan rasa aman.
Hal ini tentu akan sangat berbeda jika sistem Islam ditegakkan dalam naungan Khilafah. Buku Sistem Sanksi dalam Islam menjelaskan bahwa penjara ialah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Penjara adalah tempat di mana orang menjalani hukuman yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Di dalamnya harus ada pembinaan kepada para napi agar mampu meningkatkan rasa takut kepada Allah dan memperkuat ketakwaan. Diberikan hak hidup sesuai syariat misalnya makanan yang layak, tempat tidur yang terpisah, serta kamar mandi yang tetap melindungi aurat dan menjaga pergaulan antarnapi.
Imam Bukhari bahkan menulis secara khusus bab tentang tuntunan memberikan sandang pada napi di kitab al jami’as-shahih-nya. Para napi diberikan pemahaman agama yang menyeluruh. Para sipilnya pun mengerti agama, suasana penjara dibuat agar mereka kondusif untuk beribadah. Hingga wajar akhirnya kita temukan jika di masa Islam berjaya dan syariat Islam diterapkan sempurna, akan banyak napi yang tobat dan berbondong-bondong masuk ke dalam Islam.
Oleh karena itu, hidup sebagai napi di sistem demokrasi sungguh nelangsa. Karena selain tak layaknya hunian, makanan, dan pakaian, mereka pun disodorkan dengan sistem peradilan sekuler yang tidak mengondusifkan mereka untuk bertobat. Maka sudah selayaknya kita tegakkan sistem Islam dalam naungan Khilafah agar para napi dapat kembali pada fitrah keimanannya.
*(Aktivis BMI Community Cirebon)
Tags
Opini