Oleh : Wulansari Rahayu, S.Pd*
Mahasiswa adalah " agen of Change", istilah ini sering kita dengar saat kita bergelar mahasiswa. Tidak dapat dipungkiri bagwa peran mahasiswa sangat penting dalam membawa perubahan dan mengkritisi kebijakan penguasa. Masih lekat dalan ingatan kita bahwa runtuhnya rezim orde baru ditengarai ikut andil nya mahasiswa dalam demonstrasi waktu itu.
Namun di tengah rezim saat ini ternyata kebebasan berpendapat justru di batasi bahkan sikap kritis mahasiswa justeru seolah dibungkam dengan menggunakan berbagai cara. Salah satunya dengan UU ITE. Undang –undang ini disiapkan untuk mereka yang dianggap melanggar ketentuan negara.
Hal ini terlihat pada demontrasi mahasiswa dalam penolakan RUU Omnibus L2aw. Di Surabaya misalnya sebanyal 167 ditangkap apparat kepolisian saat aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Mereka ditangkap karena dianggap akan rusuh.(Tempo.co. 20 oktober 2020).
Penangkapan lainnya juga terjadi pada mahasiswa sekalugus jurnalis yang berinisial EA, EA mengaku dapat tindakan represif dari aparat kepolisian. Kejadian bermula saar dia meliput aksi unjuk rasa mahasiswa di gedung Grahadi menolak UU cipta kerja (CNNindonesia,com).
Disisi lain penangkapan terhadap ulama yang tsiqoh menyuarakan kritik terhadap penguasa juga mendapat kriminalisasi. Seperi Habib Riziek Shihab, Habib Bahar dan masih banyak yang linnya. Seolah penguas hari ini anti kritik. Dan berusaha membungkam warganya jika berani mengkritik penguasa.
Padahal budaya kritik sendiri dijaga dalam peradapan Islam. Budaya muhasabah atau kritik inilah yang dihidupkan dan dijaga dalam peradaban Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Rasulullah Saw. adalah contoh terbaik dalam menjaga budaya kritik ini, beliau menerima kritik terhadap kebijakan yang tidak dituntun wahyu.
Dalam perang Uhud, beliau menyetujui pendapat para Sahabat yang menghendaki untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah, meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya.
Sikap Rasulullah Saw. diikuti para Khalifah setelah beliau. Khalifah Abu Bakar ra., ketika dibaiat menggantikan Rasulullah Saw., berkhotbah meminta rakyat untuk mengkritiknya.
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku.” (Abu Bakar ra.).
Demikian juga Khalifah Umar bin Khaththab ra. dalam khotbahnya setelah dilantik menjadi Khalifah pengganti Abu Bakar ash-Shiddiq ra., berkata di depan rakyatnya, “Apa yg akan kalian perbuat jika aku melakukan tindakan yang melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya?” Tidak ada yang menjawab. Semua mata hanya menatap beliau.
Hingga ketiga kalinya beliau mengulangi pertanyaannya, seorang pemuda bergegas berdiri, mengacungkan pedang dan berseru, “Jika engkau bertindak melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya, maka pedang ini akan kukalungkan ke lehermu!”
Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar bin Khaththab bukannya marah, justru berkata, “Alhamdulillah yang telah menempatkan di negeri ini seseorang yang akan meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya.”
Masya Allah, sikap Khalifah dalam menjaga budaya kritik warganya. Mereka tidak hanya mendorong, namun juga mengapresiasi, bahkan mereka sangat gelisah jika warganya tidak melakukan kritik karena enggan atau takut.
Tentu kita rindu suasana kepemimpinan Khilafah Islamiyah. Negara ini akan hebat jika dikelola dengan amanah dan pemimpinnya siap dikritik demi kebaikan bersama. Bukan seperti penguasa saat ini yang antikritik padahal mengaku negara demokrasi, yang konon katanya menjamin kebebasan berpendapat.
Jangankan mengkritik dengan mengancam pakai pedang sebagaimana di masa Khalifah Umar bin Khaththab, mengkritik dengan kata-kata saja bisa mengalami nasib dikriminalisasi dengan tuduhan anti-Pancasila, anti-NKRI, agen radikal, dll. yang bisa berakhir di penjara. Waallahu alam bishowab.
*Penulis dan Penggiat Literasi
Ilustrasi riccardoguasco.tmblr.com
Tags
Opini