Oleh : Anindia Wibowo, A.Md
(Aktivis Muslimah Muara Enim)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10/2020), telah mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I, 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020. Di sisi lain, pengesahan tersebut mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Hal itu disebabkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, dinilai akan membawa dampak buruk bagi tenaga kerja atau buruh.
Seluruh kalangan menyuarakan aspirasi mereka dengan melakukan berbagai opini di media cetak, media sosial maupun turun kejalan untuk menolak UU yang baru disahkan ini. Demo tidak bisa dihindarkan dari kalangan buruh/pekerja hingga mahasiswa melakukan aksi penolakan UU Ciptakerja.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan mahasiswa untuk tidak ikut aksi demo Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja resmi. Adapun beberapa isi dalam surat ini di teken oleh Dirjen Dikti Kemendikbud, Nizam, (detiknews,10/10/20)
"Mengimbau para mahasiswa/i untuk tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa/i di masa pandemi,"
"Para pengajar membantu mensosialisasikan UU Cipta Kerja dan mendorong kajian-kajian akademis objektif atas UU tersebut. Hasil pemikiran dan aspirasi dari kampus hendaknya disampaikan kepada pemerintah maupun DPR melalui mekanisme yang ada dengan cara-cara yang santun,"
“Menginstruksikan para dosen senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritisi UU Ciptaker’,
Maka dengan kritik melakukan aksi turun ke jalan merupakan bentuk aspirasi dan ekspresi mahasiswa terhadap langkah-langkah pemerintah yang abai terhadap kesejahteraan rakyat. Mahasiswa merupakan salah satu representative dari rakyat/ buruh atas penolakan UU Ciptaker tetapi dengan aksi ini mahasiswa diancam nilai akademisnya hingga kehilangan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) karena itu menyulitkan kesempatan kerja. Mahasiswa kehilangan independensi dalam menyuarakan aspirasi perubahan bangsa.
Adapun pandangan pemerintah atas demo yang dilakukan Mahasiswa, Maka Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV seperti dikutip Kamis (8/10/2020). Dia mengaku tahu pihak-pihak yang membiayai aksi demo itu. "Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind demo itu. Kita tahu siapa yang menggerakkan, kita tahu siapa sponsornya. Kita tahu siapa yang membiayainya,"
Atas pernyataan menteri koordinasi bidang perekonomian ini, maka pemerintah berpendapat ada suatu golongan, kelompok ataupun seseorang yang “menunggangi” aksi dari pendemo yang bukan merupakan hasil pemikiran mahasiswa.
Dalam sistem kapitalis, intelektual muda (mahasiswa) dikerdilkan potensinya untuk memikirkan kemaslahatan pribadinya atau gerakan perubahannya dimandulkan sekedar memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan, tidak sampai mengantarkan pada perubahan mendasar.
Demonstrasi atas UU Ciptaker ?
UU Cipta Kerja disahkan Jokowi lewat tanda tangan tertanggal 2 November 2020. Ada pula tanda tangan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dalam salinan ini, ada pula tanda tangan Lydia Silvana Djaman selaku Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Setneg, jumlah halaman di UU ini adalah 1.187 lembar.
Maka bisa diilihat bahwa sistem demokrasi tidak bisa menjadi jalan keluar untuk memperbaiki keadaan masalah yang terjadi sekarang. Slogan demokrasi “Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat” tidak mempengaruhi keputusan pemerintah untuk mengesahkan UU/ Peraturan yang tidak diinginkan rakyat. Peraturan ini lebih mementingkan pihak-pihak yang diuntungkan salah satunya pengusaha dan pejabat untuk melanggengkan kekuasaaannya. Sehingga untuk memperbaiki kondisi sekarang dengan perubahan sistem kearah Islam.
Indonesia dengan mayoritas umat beragama Islam, perubahan sistem bukan lagi sebagai kebutuhan ataupun kemaslahatan bagi rakyat namun juga kewajiban yang Syar’i atas pemenuhan keimanan perintah Allah Swt.
Maka bukankah sudah selayaknya kita berjuang untuk segera melakukan perubahan sistem agar terwujud tatanan hidup yang lebih baik?
Wallahu a'lam