Kemenangan Biden-Harris, Janji Manis untuk Negeri Muslim?



Oleh: Lina Ummu Dzakirah

Setiap kali masa Pilpres (pemilihan presiden) tiba,  rakyat selalu dijanjikan perbaikan dan perubahan, bahkan menaruh harapan besar pada pemimpin yang terpilih. Begitu pula kemenangan Joe Biden dan Kamala Harris dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020 menjadi perhatian para pemimpin negara di dunia.

Biden dan Harris terpilih menjadi presiden dan wakil presiden AS dalam setelah mengalahkan pasangan petahana Donald Trump dan Mike Pence. Sederet pemimpin dunia pun memberikan ucapan selamat atas kemenangan tersebut. Selain itu, melalui media sosial masing-masing, terselipkan harapan atas hasil Pilpres AS 2020 ini.

Indonesia sendiri menaruh harapan besar atas hasil Pilpres AS ini. Presiden Indonesia Joko Widodo memberikan ucapan selamat atas kemenangan Joe Biden dan Kamala Haris melalui akun resmi Twitter-nya, @jokowi. Jokowi berharap dapat bekerja sama dengan Biden dalam memperkuat kemitraan strategis antara Indonesia dan AS, di antaranya bidang ekonomi, demokrasi, dan multilateralisme untuk kepentingan bersama. (Kompas.com, 09 November 2020)

Bukan hanya masyarakat Indonesia dan Amerika Serikat, masyarakat dunia lainnya juga menaruh harapan besar pada presiden terpilih AS 2020. Pada awal kampanye, Biden tampak sosok yang dinilai lebih religius, beradab dan cerdas. Pesona Pilpres Amerika Serikat juga menyita perhatian umat muslim dunia. Jika nantinya menang dan resmi terpilih presiden Amerika Serikat 2020, Biden berjanji pada umat Islam akan memperlakukan agama Islam sebagaimana mestinya.

Harapan tinggal harapan, perbaikan dan perubahan yang dijanjikan AS tak kunjung datang. Sejak dulu  hingga sekarang, belasan kali Pemilu sudah dilaksanakan, kesejahteraan masih di awang-awang. Berkali-kali ganti kepemimpinan, sebanyak itu pula rakyat selalu menelan kekecewaan.

Pada hakikatnya, sistem demokrasi adalah sistem rusak yang tidak layak menjadi gantungan harapan termasuk bagi perbaikan kondisi muslim di berbagai belahan dunia. Sistem demokrasi yang lahir dari rahim sekulerisme memiliki mekanisme untuk mempertahankan dan melanggengkan eksistensinya. Diantara mekanisme untuk menjaga keberlangsungan sistem demokrasi adalah dengan Pemilu yang diadakan secara periodik dan diikuti oleh partai-partai politik. Fakta sejarah menunjukkan, Pemilu yang selama ini digelar diberbagai dunia tidak melahirkan perubahan mendalam. Yang terjadi hanya perubahan orang atau rezim saja. Tak ada yang berubah dalam sistem politiknya. Sistem politik yang berlaku tetaplah sistem demokrasi.

Kampanye Biden terkait sikapnya terhadap Islam dan muslim tidak bisa menjadi sandaran perubahan kebijakan.  Sudah selayaknya sikap kaum Muslim terhadap pemilihan Presiden Amerika tidak perlu euforia seolah-olah kekalahan Trump menjadi tanda kemenangan dari dunia Islam. Karena hal itu sama saja. Sebab, Amerika sudah mempunyai khithah politik yang tidak pernah berubah sebagai pengemban kapitalisme global dengan gaya kepemimpinan Sekularisme-Kapitalisme. Kepemimpinan yang berwatak kolonialis akan tetap menjadi wajah permanen kebijakan mereka.

Karena dalam sistem pemerintahan demokrasi, kampanye hanya alat mengumpulkan suara. Kampanye bukan janji yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Demokrasi dengan prinsip suara rakyat terbanyak adalah suara tuhan, tak memiliki syarat yang sahih terkait diangkatnya seseorang menjadi pemimpin. Secara umum, selama ia adalah warga negara dan ada partai bentukan rakyat yang mengusungnya, ia boleh menjadi pemimpin. Segala cara dihalalkan demi meraup suara sebanyak-banyaknya. Itulah mengapa dalam demokrasi, kecurangan menjadi fenomena lumrah.

Kemenangan Biden tentu juga bukan kemenangan umat Islam. Maka, tidak pantas kaum muslim berharap pada Biden untuk memperbaiki kondisi umat. Selagi ideologi mereka kapitalisme tidak akan bisa mempengaruhi perubahan kepada Islam. Ideologi kapitalisme memiliki fikroh (konsep) yakni pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) ke seluruh dunia. Menjadikan pandangan hidupnya sebagai pemikiran yang memimpin dunia.

Maka, berharap terwujudnya perdamaian dunia pada sistem kapitalisme merupakan sesuatu yang tak akan mungkin terjadi. Meninggalkan hegemoni kapitalisme dalam menciptakan perdamaian dunia harus dikubur dalam-dalam. 

Oleh karena itu, umat jangan lagi masuk ke dalam lubang yang sama. Umat mesti sadar, bahwa mereka adalah anak cucu generasi terbaik yang pernah mengurus bumi dengan risalah mulia yakni Islam. Mulai dari kalangan Sahabat yang Mulia hingga Muhammad Alfatih, Sultan Sulaiman Al Qanuni, Salahahuddin Al Ayubi, dll.

Di tangan umat ada petunjuk hidup paripurna yang berasal dari pencipta langit dan bumi. Mereka adalah pewaris risalah Al Musthofa Muhammad SAW. Dengan risalah itu, kakek mereka dahulu berhasil mengenggam dunia. Tidak pernah kaum muslim bergeser dari posisi mereka sebagai adidaya dunia selama mereka berpegang teguh pada Islam secara kaffah.

Kemenangan Biden pun bisa jadi geliat kegelisahan rakyat terhadap kondisi saat ini. Namun karena masih belum memiliki konsep kebangkitan yang benar, terjebaklah pada perubahan semu. Satu-satunya cara untuk menuju ke perubahan yang mendasar adalah dengan cara awal pertama kali mereka bangkit. Yakni menjadikan ajaran Islam sebagai satu-satunya kepemimpinan berfikir. Melepaskan keterikatan, kecenderungan dan perasaan terhadap berbagai ajaran diluar Islam baik yang berasal dari Kapitalis-Sekuler maupun Sosialis-Komunis. Wallahua'lam bish shawab[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak