Kemenangan Biden: Angin Segar bagi Islam dan Muslim?



Arif Susiliyawati, S.Hum *


Sudah jadi tabiat negara adidaya jadi sorotan dan pusat perhatian dunia. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW dulu memperhatikan kejadian di negara adidaya imperium Romawi dan Persia, kaum muslimin hari ini pun tak ketinggalan mengikuti ramainya suasana pemilihan umum presiden negara adidaya Amerika Serikat. Salah satu pasangan dalam pilpres AS kali ini,  kini resmi menjadi pemenang, yakni Joe Biden & Kamala Harris telah menarik hati sebagian kaum muslimin dengan janji kampanyenya. 

Joe Biden berjanji kepada umat muslim bahwa sebagai presiden baru AS dirinya memastikan agama Islam akan mendapat perlakuan yang semestinya. Biden juga menyatakan aspirasi Muslim Amerika akan didengarkan oleh pemerintahannya. Larangan perjalanan (travel ban) bagi muslim juga akan dihapuskan pada hari pertama kerjanya sebagai presiden sehingga AS kembali menyambut para imigran dan pengungsi (jakbarnews.pikiran-rakyat.com, 7 November 2020). Harris pun berjanji membatalkan keputusan Trump yang mencabut dana berbagai organisasi yang memberikan bantuan ekonomi dan kemanusiaan kepada rakyat Palestina, serta berkomitmen pada solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik Palestina-Israel (international.sindonews.com, 6 November 2020). 

Adanya sebagian kaum muslimin yang ikut berbahagia dan menaruh harapan pada terpilihnya presiden baru AS ini kiranya karena menganggap Biden adalah ‘the lesser of two evils’, atau pilihan yang kejahatannya lebih sedikit daripada pilihan lainnya (Trump). Pandangan pragmatis ini berbahaya karena tetap menjebak umat dalam ilusi bahwa demokrasi bisa membawa perubahan hakiki dan menjadi solusi bagi masalah multidimensional yang dihadapi dunia hari ini.

Kenyataannya, demokrasi adalah sistem cacat yang tidak layak menjadi tumpuan harapan umat.  Sistem ini lahir dari asas sekularisme yang menempatkan manusia yang penuh kelemahan dan keterbatasan sebagai pembuat hukum dalam kehidupan. Akibatnya, setiap produk hukum yang dihasilkan pastilah juga mengandung banyak kekurangan hingga impoten menuntaskan permasalahan secara holistik. Kita bisa menyaksikan hari ini masalah kelaparan, kemiskinan, keterbatasan akses layanan kesehatan, kerusakan lingkungan, dan problematika kesejahteraan lainnya di berbagai belahan dunia belum terselesaikan walaupun upaya sinergi berskala internasional semacam Sustainable Development Goals (SDGs), yang sebelumnya didahului dengan Millennium Development Goals (MDGs), telah dilakukan.

Selain itu, umat tentunya sudah tak terhitung berulang kali menyaksikan bahwa janji-janji kampanye itu manis di bibir saja. Politik demokrasi yang berbiaya sangat mahal meniscayakan kehadiran cukong politik yang membiayai kampanye para kandidat pemilu. Inilah mengapa ketika kandidat tersebut memenangkan pemilu, kandidat terpilih harus ‘membalas budi’ kepada para cukong ini, yakni dengan membuat kebijakan yang menguntungkan kepentingan mereka. Inilah mengapa janji kampanye tidak bisa dipertanggungjawabkan dan menjadi jaminan karena itu sekadar cara mengumpulkan suara dukungan agar kandidat tersebut mendapat kekuasaan secara legal. Setelah menang, kandidat terpilih mendahulukan kepentingan cukong daripada memenuhi janjinya pada rakyat. 

Karenanya, muslim tidak pantas tertipu sekian kalinya oleh janji-janji politikus di sistem demokrasi, termasuk janji kampanye pasangan presiden dan wakil presiden AS Biden-Harris. Muslim tidak layak jatuh ke lubang yang sama dua kali, apalagi sampai berkali-kali. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang Mukmin itu tidak jatuh dalam lubang yang sama sebanyak dua kali (HR. Bukhari dan Muslim).”

Mengharapkan perlindungan dan keberpihakan terhadap kaum muslimin dari pengusung sistem kapitalisme demokrasi yang sekuler pasti berujung kekecewaan. Selama kapitalisme tetap menjadi ideologi yang diemban, bergantinya figur pemimpin tidak akan membuat kebijakan mereka berubah menjadi ramah Islam.  Hal ini karena nilai-nilai yang mereka emban jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam. 

Ketika kaum muslimin marah atas penistaan nabi SAW yang terjadi di Prancis, figur pemimpin negara kafir justru membela penistaan itu atas nama nilai HAM dan kebebasan berpendapat ala Barat. Ketika kaum muslimin menuntut Israel hengkang dari tanah milik Muslim Palestina, Biden-Harris justru menegaskan solusi dua negara yang berarti mengakui eksistensi negara zionis Israel dan membiarkan mereka mengklaim tanah yang telah dirampas dari warga Palestina. Ketika kaum muslimin ingin menunaikan kewajibannya menerapkan syariat Islam secara kaffah, pemimpin berideologi kapitalisme tak henti-hentinya mengaruskan islamophobia, mengopinikan bahwa Muslim yang ingin taat total dan para pengemban dakwahnya itu radikal, ekstremis, tidak moderat. 

Kembalinya kaum muslimin menjadi umat terbaik melalui jalan demokrasi atau figur tokoh yang mengusung sistem ini bagaikan menegakkan benang basah, alias mustahil terjadi. Sejarah Islam menyuguhkan pelajaran dan bukti bahwa masa keemasan peradaban Islam hanya terwujud tatkala umat secara total menerapkan hukum-hukum Islam. Islamlah yang membuat Jazirah Arab yang dulunya gersang, penuh kerusakan moral dan kezaliman serta tak dilirik negara adidaya Persia dan Romawi berubah menjadi negara Islam yang disegani kekuatannya, ditakuti amarahnya, terus meluas kekuasaannya, dan keadilan terwujud di bawah pemerintahannya.

Tidaklah mengherankan, hukum-hukum Islam dibuat oleh Allah yang Maha Mengetahui hakikat baik buruk bagi seluruh manusia di era kapan pun dan di mana pun berada. Syariat Islam satu-satunya hukum yang dapat menjadi solusi bagi masalah manusia dan mewujudkan rahmat yang menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta manusia. Allah SWT. berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS. Al-A’raf: 96).” 

Karena itu, kaum muslimin tidak patut mengharapkan angin segar dari terpilihnya Biden atau siapa pun dalam sistem demokrasi ini. Umat harus menapaki jalan perubahannya sendiri yang telah dijelaskan dalam ajaran Islam yang sempurna. Metode perubahan itu adalah dakwah mengikuti metode Nabi Muhammad SAW, yakni dengan melakukan aktivitas pembinaan hingga umat berpola pikir dan berpola sikap Islam.

Menjelaskan Islam sebagai sistem kehidupan dan mengungkap rusaknya sistem dan sesatnya pemikiran buatan manusia, serta mencari pertolongan dakwah dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan pengaruh (thalabun nushrah). Metode ini telah terbukti sukses mewujudkan persatuan kaum muslimin di bawah institusi negara yang di dalamnya ditegakkan syariat Islam secara kaffah. Inilah satu-satunya tumpuan harapan yang tidak akan mengecewakan umat. 


*(Penerjemah bahasa asing, pegiat dakwah remaja)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak