KEKERASAN DALAM KELUARGA



Oleh: Iliyyun Novifana, S.Si.

 

Video viral yang telah diunggah di media sosial Instagram @ir_kartika pada Senin, 26 Oktober 2020 lalu mengenai penganiayaan yang telah dilakukan oleh seorang wanita muda (anak 24 tahun) kepada seorang wanita tua (ibunya 60 tahun) yang terjadi di dekat pasar Mergan Kota Malang cukup menarik perhatian warga.

Sepintas dalam video berdurasi singkat itu tampak kedua orang ini sedang berteduh dari hujan. Tak terdengar percakapan apa yang terjadi di sana tiba-tiba si anak 'menjundu' kepala ibunya lalu membekapnya, dan memukul punggung sang ibu. Akan tetapi ibunya tak menggubris, lebih memilih menghindarinya.

Usut punya usut ternyata si anak merasa kesal kepada kakak iparnya yang sebelumnya telah memukulinya hingga babak belur namun sang ibu tak membelanya. Kekesalan yang terpendam akhirnya mencuat tak tahan lagi sehingga dengan tega dilampiaskan kemarahan itu kepada ibunya.

Tak akan ada asap jika tak ada api. Tak akan ada reaksi jika tak ada aksi. Dalam tindak penganiayaan yang terjadi tersebut pastilah ada alasan yang memicunya.

Ibu adalah sosok yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan kita. Ini bukanlah perkara yang mudah dilakukan, melainkan sesuatu yang mengorbankan banyak hal mulai dari pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, bahkan nyawa. Namun semua itu dilakukan seorang ibu dengan senang hati demi mendamba buah hati yang dicintainya. Kesabaran, keikhlasan, dan pengorbanannya tampak jelas dalam sikap dan tutur kata. Senakal apa pun anaknya tetaplah anaknya, darah dagingnya. Seorang ibu tetap menyayangi anaknya seperti apa pun kenakalan yang diperbuat anak terhadap ibunya. Pengampunan dan kasih sayang ibu selalu diberikan kepada buah hatinya.

Terkait permasalahan yang dialami oleh si anak tersebut, tidak sepatutnya dilampiaskan kepada ibunya. Walau dalam pengakuannya itu adalah kali pertama ia bersikap aniaya kepada sang ibu, namun tak seharusnya ia lakukan apalagi di tempat umum. Jika sebelumnya ia mampu bersikap baik pada ibunya, maka mengapa ia tak sedikit bersabar lagi sehingga tak menggoreskan luka di hati ibu.

Hanya demi alasan sang ibu tak membelanya di hadapan sang menantu, sungguh tak layak memberikan balasan aniaya terhadap ibunya. Tentu seorang ibu memiliki alasan tersendiri terhadap sikap yang diambilnya dalam menghadapi permasalahan keluarganya. Sebagai seorang anak kandung, ia semestinya bisa lebih memahami kondisi orang tuanya sendiri. Belajar lebih dewasa dan menyayangi orang tua.

Sungguh 'beruntung' si anak masih sedikit 'waras' karena tak sampai membunuh ibunya. Pada kasus yang lain ada yang sampai tak berbelas kasih dengan tega melakukan kekerasan bahkan berujung pembunuhan. Hal ini tidak dialami oleh satu atau dua keluarga saja tapi lebih dari itu. Dorongan melakukan tindakan ini bukanlah sesederhana tak bisa menahan diri. Emosi tak terkendali tersebut merupakan akumulasi dari beban yang sangat berat yang dirasakan oleh mereka sehingga tersentil sedikit saja seseorang yang biasanya mampu menahan diri dari kemarahan akhirnya sanggup lepas kendali.

Apabila ditelisik lebih mendalam, beban berat itu berasal dari tekanan hidup yang sangat menghimpit. Akibat pengaturan yang menyulitkan rakyat dan membebani mereka serta dilengkapi dengan ruhiyah yang sangat lemah menjadi pemicu utama dari kekerasan dalam keluarga. Terlebih lagi dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, kesulitan hidup yang sebelumnya menjangkiti banyak keluarga justru semakin memperparah kesulitan mereka. Apabila masih dilanjutkan pengaturan ala sistem kapitalis yang memihak pada korporasi ini diterapkan ditengah masyarakat, maka sungguh keadaan yang memprihatinkan ini akan terus terjadi. Perlahan-lahan menuju arus kerusakan hidup yang berujung maut.

Secara naluri, setiap manusia menginginkan kehidupan yang damai tanpa kekerasan. Kehidupan yang penuh berkah, adil, tanpa tipu daya. Kehidupan yang mampu menjadikan manusia terus-menerus dalam kebaikan sehingga menebar manfaat untuk sesama dan keridhoan dari Sang Pencipta. Kehidupan seperti ini bukan perkara yang mustahil karena pernah terjadi sebelumnya dimana aturan kehidupan bersesuaian dengan titah "Pemilik Kehidupan". Oleh karena itu jika ingin berlepas diri dari kesempitan hidup yang menghimpit ini maka haruslah menjadikan aturan kehidupan sesuai dengan aturan-Nya. Segera dalam ketaatan, tanpa tapi tanpa nanti.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak