KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PEKERJA/BURUH DALAM PERSPEKTIF ISLAM



Oleh: Tita Rahayu

Bulan November merupakan bulan yang identik dengan penetapan upah minimum. Hampir di setiap daerah melakukan kebijakan tersebut melalui departemen yang mengurusi ketenagakerjaan. Penetapan upah minimum selalu menjadi sorotan publik, baik proses maupun nominalnya. Pasalnya, problem pekerja/buruh mengenai nominal upah minimum ini seakan tak sebanding dengan problematika multidimensional yang dihadapi para pekerja/buruh seperti munculnya perlakuan yang buruk dari pengusaha yang merugikan pekerja/buruh, keselamatan tenaga kerja yang rendah, serta jaminan sosial yang relatif kecil.

Hampir disetiap tahunnya problem tenaga kerja yang sering muncul yakni problem penggajian. Hal ini kita ketahui pada setiap tanggal 1 Mei dimana telah ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional, selalui diwarnai dengan demonstrasi yang tuntutannya tak lain lagi adalah mengenai kenaikan gaji. Namun disetiap daerah telah terdapat Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dimana hal tersebut merupakan batas minimal gaji yang merupakan solusi yang diberikan oleh pemerintah untuk mengatasi problem gaji yang dihadapi masing-masing daerah baik skala provinsi, kabupaten maupun kota. Nilai UMR/UMK ini dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada kebutuhan fisik umum dan kebutuhan hidup minimum atau yang saat ini disebut Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Seharusnya besaran UMR/UMK ini, nilai upahnya sebanding dengan besarnya produktivitas pekerja/buruh dalam bekerja. Dimana pekerja/buruh ini telah berkontribusi besar dalam membesarkan atau mewujudkan tujuan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Tanpa kontribusi tersebut perusahaan tidak akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah perusahaan besar. Apabila kita telaah bersama dengan adanya penetapan UMR/UMK ini ternyata belum dapat menuntaskan problematika pekerja/buruh terkait upah, sebab pengusaha terkadang ada yang masih keberatan untuk membayar upah pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan tersebut.  Selain itu semakin bertambahnya jumlah kebutuhan hidup terutama kebutuhan bahan pokok seperti sandang, pangan dan papan yang tidak seimbang dengan besarnya kenaikan upah batas minimum.
 
Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup serta menjaga keberlangsungan hidup, maka manusia harus bekerja. Pada saat bekerja terdapat hubungan kerja antara pemberi pekerjaan (pengusaha) dengan penerima pekerjaan (pekerja/buruh). Sehingga dalam hal ini para pihak akan melakukan akad kerja (ijarah) untuk mendapatkan imbalan atas hasil kerjanya atau upah. Adapun syarat untuk melakukan akad ijarah adalah para pihak telah mumayiz, adanya keridhaan pada kedua belah pihak dan upahnya harus jelas. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “ Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak seorang pekerja, hendaknya ia memberitahukan upahnya kepadanya” (HR. Ad Driqutni, dari Ibnu Mas’ud). Imam Ahmad jugga meriwayatkan sebuah hadist dari Abu Said ra, “ Nabi SAW telah melarang mengontrak seorang pekerja hingga upahnya menjadi jelas bagi pekerja tersebut.” (HR. Ahmad).

Dalam Islam terdapat ketentuan perihal ijaroh yang harus kita pahami bersama, yaitu pertama, akad ijarah sifatnya mengikat kedua belah pihak sehingga wajib bagi pengusaha/majikan (musta’jir) untuk memberikan upah (iwadh) kepada pekerja/buruh. Kedua ketentuan upah harus dikembalikan pada jasa (manfaat) yang diberikan. Pada ijarah ada 3 kategori jasa antara lain:
1. Jasa benda (manafi’ al a-yan) seperti jasa sewa rumah , mobil dan sebagainya;
2. Jasa orang (manafi’ asy-syakhs) seperti jasa buruh rumah tangga, jasa ojek dan sebagainya;
3. Jasa kerja/profesi (manafi’ al-amal), seperti jasa dokter, guru dan sebagainya.

Ketiga kategori tersebut yang menjadi obyek akad (ma’dud alayh) dan upah (ajrun musamma) yang telah disepakati. Sehingga yang seharusnya menjadi acuan dalam penetapan upah adalah besar jasa yang telah diberikan bukan lainnya. Ketiga, apabila terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak dalam hal upah, maka solusinya dikembalikan pada akad dan upah yang telah disepakati tadi. Namun apabila pada akad tersebut belum dinyatakan besarnya upah, maka berlaku upah sepadan/ajrun mitsli.

Dalam hal mengenai penentuan upah yang sepadan ini dibutuhkan seorang ahli (al khibrah) yang dipilih berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Namun apabila diantara kedua belah pihak masih belum ada kesepakatan, maka Negara Khilafah yang akan menentukan siapa ahlinya. Mengenai kewajiban mengejahterakan rakyat, maka tanggungjawab tersebut tetap berada ditangan Khilafah sebagai pelayan umat. Sehingga tidak dikenal dalam Islam pembatasan upah, apalagi diukur dari standar hidup minimum. 

Wallahu a’lam bish-showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak