Kebijakan Politik Demokrasi, Bias, Semu dan Rusak



Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)

Berderet regulasi kontroversial, baik revisi maupun Rancangan Undang-Undang (RUU) bermunculan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kompas.com mencatat, setidaknya ada tiga Undang-Undang kontroversial yang tetap disetujui pemerintah dan DPR meski menimbulkan polemik. Ketiganya adalah revisi UU Mineral dan Batu Bara, revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) dan Omnibus law UU Cipta Kerja.

Revisi UU Minerba merupakan usulan DPR yang kemudian dibahas dan disetujui pemerintah. RUU ini menjadi UU dalam rapat paripurna pada 12 Mei 2020. Dilansir Kompas.id (13/5), peneliti dari Auriga Nusantara Iqbal Damanik menyatakan, pengesahan revisi RUU ini menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap korporasi tambang batu bara.

Berikutnya, revisi UU MK yang juga merupakan usulan DPR disepakati pemerintah. Pembahasan RUU MK dikebut DPR dan pemerintah hanya dalam waktu tujuh hari kerja. RUU ini disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna pada 1 September 2020. Setelah itu, pada 5 Oktober 2020, DPR dan pemerintah menyepakati Omnibus law UU Cipta Kerja menjadi UU. Ini merupakan rancangan UU usulan pemerintah, dan DPR pun menyetujui pembahasannya meski kritik publik terhadap UU tersebut sudah terdengar sejak masih dalam wacana (http://nasional.kompas.com, 20/10/2020).

Kebijakan Demokrasi: Sarat Kepentingan Bagi Penguasa

Tidak terelakkan, setahun terakhir ini kebijakan dalam bentuk RUU yang ditelurkan oleh pemerintah kerap kali kontraproduktif dengan aspirasi publik, seperti UU MK, Perppu Covid-19, RUU KPK, Perpres Jaminan Kesehatan, UU Minerba dan lain-lain. Diberitakan dari Kompas.com (5/10/2020), terdapat beberapa RUU kontroversial yang dinilai menindas rakyat. Pertama, RUU KPK yang mendapat penentangan dari sejumlah pihak, sayangnya tidak ada satupun partai di legislatif yang menolak pengesahan revisi UU KPK ini. Adapun salah satu poin kontroversi di dalamnya adalah kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif. Padahal status KPK sebelumnya merupakan lembaga ad hoc independen. Perubahan kedudukan menjadi lembaga pemerintah itu berdampak pada status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Kedua, UU Minerba dengan Partai Demokrat menjadi satu-satunya fraksi yang menolak RUU ini. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 169A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa pelelangan. Melalui pasal ini, pemegang KK dan PKP2B yang belum menerima perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masing-masing paling lama selama 10 tahun.

Dan yang terbaru (ketiga), terkait dengan Omnibus law RUU Cipta Kerja yang tercatat hanya PKS dan Partai Demokrat yang menolak RUU ini.  Sejak akhir tahun lalu, kritik dan aksi protes sudah digelar untuk menggagalkan pembahasannya yang dinilai merugikan para pekerja. Sebab, hak pekerja yang sebelumnya termuat dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 seakan disunat. Misalnya, sistem kerja kontrak yang tak ada batasan dinilai bisa menyebabkan para pekerja dapat kehilangan akan kepastian status kerjanya. Selain itu, dihapuskannya upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang akan diganti dengan UMP (provinsi). Penghapusan ini bisa membuat upah pekerja lebih rendah.

Melihat begitu bernafsunya Pemerintah dan DPR dalam mengesahkan beragam RUU yang bermasalah di atas, nampaknya mengindikasikan ‘ada udang di balik batu’. Sebab, meski gelombang penolakan dari masyarakat terus dilayangkan menyusul pengesahannya, kenyataannya tetap saja dipaksakan. Patut diduga, sikap pemerintah ini menginformasi adanya kepentingan bagi penguatan oligarki. Indikasi suburnya, bisa terlihat dari bagaimana masih segar dalam ingatan kita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilemahkan melalui revisi RUU KPK tahun lalu, disusul dengan revisi UU Minerba awal tahun ini yang memperkuat jejaring oligarki tambang, kemudian disahkannya UU Cipta Kerja melengkapi berbagai revisi aturan sebelumnya yang makin melemahkan rakyat dan menguatkan oligarki. Dengan demikian, dugaan di atas bisa disimpulkan sebagai suatu fakta yang benar adanya.

Namun, wajib dipahami bahwa adanya kondisi ini bukan semata ulah pemerintah, melainkan keniscayaan sistem yang menjadikan golongan tertentu sebagai penguasa yang sesungguhnya. Orientasi materialistik telah mengarahkan lahirnya kebijakan yang prematur dan rentan polemik dengan penegakkannya melalui sistem demokrasi. Dalam sistem ini (demokrasi) yang menempatkan manusia sebagai pemegang kedaulatan, alias pembuat hukum senantiasa memberi ruang bagi manusia yang berkepentingan untuk merevisi aturan disesuaikan dengan hawa nafsunya. Sehingga, teori kebesaran yang katanya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, justru dari pengusaha, oleh pengusaha dan untuk pengusaha. Praktiknya senantiasa mengutamakan kerakusan oligarki yang haus materi dan kekuasaan, bukan rakyat. 

Dan ini sudah menjadi tabiat demokrasi-kapitalisme yang menjadikan penguasa sebagai penjajah bagi rakyat dan bangsanya sendiri, kemudian menjadi sumber kekuatan bagi kerakusan pemodal yang mewujud dalam bentuk kebijakan amburadul yang ditetapkan, dengan prinsip dasarnya mewujudkan keuntungan dan memusnahkan yang merugikan. Sistem ini digunakan sebagai jalan untuk memuluskan performa prokapitalisnya, dan menjadi penghianat sejati bagi rakyat. 

Inilah omong kosong demokrasi di era peradaban Kapitalisme. Cerminan ideologi yang mendewakan materi, kehadirannya memang bukan untuk melayani rakyat, melainkan untuk para sponsor dan jajarannya. Rakyatlah yang harus mengabdi dan taat kepada mereka, sementara mereka tutup mata akan kewajibannya kepada rakyat. Kapitalisme memandang bisnis dan ekonomi adalah harga mati, sehingga rakyat menjadi urusan belakangan. Maka, alih-alih berpikir menghadirkan kebijakan solutif bagi kondisi rakyat yang semakin memprihatinkan, mereka malah sibuk dengan beragam mega proyek bersama konglomerat raksasa yang manfaatnya hanya dirasakan oleh mereka pribadi. Dan agar kepentingan tersebut dapat terealisasi secara cepat, maka menghalalkan berbagai cara pun sampai kebut kebijakan senantiasa menghiasi sepak terjangnya.

Untuk menghadapi situasi seperti ini, tentu umat Islam tidak boleh melakukan tindakan gegabah dan emosional, yang justru menguntungkan pihak-pihak tertentu yang ingin terus menjerumuskan umat ke dalam jurang kerusakan demokrasi. Dengan demikian, kekuatan umat Islam seharusnya bukan mengevaluasi atas salah penerapan kebijakan saja, lebih dari itu wajib untuk fokus menghadirkan solusi penyelesaian akar masalah yang ada, yakni mengganti sistem demokrasi dengan sistem politik-pemerintahan Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab, lingkaran setan demokrasi inilah yang menyebabkan orang Muslim memimpin secara kapitalis-sekularisme yang selalu memimbulkan kontroversi berulang. Dan umat Islam jangan mau diperdaya lagi oleh demokrasi. 

Ingatlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Tidak selayaknya seorang mukmin dipatuk ular dari lubang yang sama dua kali,” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, jangan sampai umat Islam mengulang kesalahan kembali dengan hanya fokus memilih pemimpinnya, namun tidak peka terhadap sistem apa yang akan diterapkan.

Kebijakan dalam Sistem Islam Mewujudkan Kemaslahatan 

Jika dalam sistem kapitalisme, rakyat hanya dibuat sengsara dengan praktik dzalim jebolan rezim yang mengaku demokratis, namun berbeda dengan aturan Islam yang hadir di tengah-tengah kita dimana pemimpin negara wajib menangani setiap urusan rakyatnya dengan kebijakan yang terbaik kepada rakyat. 

Dalam sistem Islam (Khilafah), kekuasaan institusi menerapkan syariah Islam secara praktis sehingga tujuan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud. Islam memilih penguasa yang memiliki kemampuan yang layak menjadi pemimpin negara, sehingga amanah kepemimpinan dan kepengurusan umat dipegang dengan dorongan iman dan kesholihan. Sang pemegang roda kepemimpinan senantiasa berstandar pada koridor syara’ dalam menerapkan setiap kebijakan (UU), dengan berpedoman pada al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengatur segala aspek kehidupan. Dengan demikian, tidak akan ada penguasa negara yang dapat mengutak-atik kebijakan dengan seenak hati sesuai kehendaknya.

Adapun dalam pengambilan kebijakan, jika seorang pemimpin (Khalifah) cenderung mendzalimi rakyat, maka muhasabah pun akan dilakukan oleh rakyatnya. Sebab, dalam sistem pemerintahan Islam, rakyat memiliki peran penting dalam memperhatikan roda kepemimpinan, memperhatikan setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa. Di satu sisi, Khalifah harus menerima kritikan dari rakyatnya, sebab boleh jadi kebijakannya tidak sesuai dengan ketentuan syara.’ 

Rasullullah SAW bersabda: “Agama (Islam) adalah nasehat.” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Kami (para sahabat) bertanya: “Bagi siapa saja Ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab-nya, Rasul dan untuk pemimpin kaum muslimin dan umat Islam seluruhnya,” (HR. Muslim).

Untuk itu, Khalifah akan senantiasa mewujudkan kemaslahatan, memberikan solusi tuntas bagi rakyat di bawah naungannya dengan penuh rasa tanggungjawab kepada Sang Pemberi Amanah yang Maha Tahu dan Maha Adil. Pemimpin seperti inilah yang diharapkan rakyat negeri ini, pribadi yang taat dan amanah. Sudah saatnya kita mengakhiri segala kekacauan di tengah masyarakat dengan kembali kepada syariat Islam secara keseluruhan (Kaffah). Sebab, tidak ada langkah lain yang solutif untuk dilakukan kecuali dengan kembali kepada syariat-Nya dengan diwujudkan dalam naungan sistem Khilafah. Wallahu a’lam bi showwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak