Oleh : Silmi Kaffah
(Pemerhati Sosial)
Pernyataan pemerintah seringkali menimbulkan persepsi publik bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia cukup baik dibandingkan dengan negara lain. Sehingga tak dapat di pungkiri bahwa dari menteri hingga pimpinan tertinggi Indonesia, semua sibuk mengklaim keberhasilan penanganan virus Corona di Tanah Air. Semua sibuk mengolah kata, data, dan informasi sehingga akhirnya memberikan ilusi fakta.
Lebih kurang setelah 7 bulan pandemi Covid-19 menyerang Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampil dalam sebuah video berlatar hitam yang diunggah oleh akun Youtube Sekretariat Presiden. Dengan kemeja putih yang dibalut jas berwarna gelap dan tanpa dasi, dia berbicara soal kondisi pandemi di negara ini. Bisnis.com (6/11/2020)
Berbagai data disajikan dalam video berdurasi 7 menit 55 detik tersebut. Mulai dari soal ekonomi hingga angka kesembuhan Covid-19 dan peringkat Indonesia di dunia dalam hal total kasus (per 2 Oktober 2020). “Dalam jumlah kasus dan kematian, Indonesia jauh lebih baik dibandingkan negara lain dengan jumlah penduduk yang besar. Sebaiknya kalau membandingkan ya seperti itu,” kata Presiden. Seluruh data tersebut dikemas hingga akhirnya menimbulkan persepsi publik bahwa penanganan Corona di Indonesia cukup baik dibandingkan dengan negara lain. Kepercayaan diri Jokowi mengklaim hal tersebut berdasarkan perbandingan kondisi Indonesia dengan negara-negara yang juga memiliki banyak penduduk.
Oleh sebab itu dalam undangan Badan Kesehatan Dunia (WHO) Epidemiolog dari Griffith University di Australia Dicky Budiman tak yakin kepada Menkes Terawan Agus Putranto terkait keberhasilan penanganan Covid-19 di Indonesia. Menurutnya dari isi surat undangan yang didapatnya, tidak ada pernyataan keberhasilan Indonesia dalam pengendalian pandemi. Undangan tersebut hanya mengakui keberhasilan indonesia dalam menerapkan kegiatan intra-aksi (intra action review/IAR) Covid-19. Kompas.com (6/112020)
IAR merupakan kegiatan perencanaan Indonesia dalam menanggulangi Pandemi Covid-19. Tujuannya agar setiap negara bisa mawas diri terhadap capaian dan kekurangan dalam pengendalian pandeminya. "Jadi undangan konferensi pers itu bukan dalam arti mengakui keberhasilan Indonesia dalam pengendalian pandeminya, tapi apresiasi karena telah melaksanakan kegiatan review IAR yang dianggap 'sukses'," ujar Dicky. Dikutip dari Kompas.com (Jum'at 6/11/2020).
Akar Masalah
Melihat fakta di atas bahwa penguasa saat ini hanya bisa menghitung naik turunnya angka masyarakat yang positif Covid-19 ataupun yang tidak. Bagaimana tidak, yang bisa dijadikan parameter dalam menilai berhasil atau tidaknya negara dalam menghadapi pandemi adalah dari segi model kepemimpin penguasa dan bagaimana tingkat kepercayaan publik atau legitimasi. Para pemimpin negara yang tidak bertanggung jawab membuat kebijakan yang ngawur sebagai upaya untuk mengamankan kepentingannya.
Hasilnya terjadi ledakan kasus yang tinggi dan sulit untuk dikendalikan penyebarannya. Begitu juga dengan hilangnya rasa kepercayaan satu sama lain dalam kehidupan bernegara. Kepercayaan publik atau rakyat terhadap pemerintah mulai diragukan karena ulah dari pemerintah itu sendiri yang kurang tepat dalam merespon pandemi covid-19.
Dengan demikian, apapun bentuk sistem yang dianut oleh beberapa negara di dunia ini baik sistem demokratis maupun otoriter tidak memberikan dampak secara signifikan ataupun tidak menjadi pengaruh utama dalam keberhasilan sebuah negara dalam menghadapi pandemi covid-19 ini apabila aturannya masih bersumber dari aturan manusia itu sendiri.
Solusi Dalam Islam
Sistem yang berasal dari buah pemikiran manusia ini jelas tidak akan mengantarkan umat manusia pada solusi hakiki. Ini tentu berbeda dengan sistem Islam yang berasal dari wahyu Allah SWT., Al-Khaliq Al-Mudabbir. Sistem Islam yang dibangun di atas pondasi tauhid, telah terbukti memiliki solusi yang solutif dari seperangkat aturan yang dilahirkan dari pondasinya.
Islam memiliki solusi fundamental dalam mengatasi wabah. Kesehatan dan keselamatan rakyat adalah prioritas utama. Upaya itu bisa dilakukan oleh kepala negara (imam/khalifah) yang merupakan raa’in (pengurus) dan junnah (penjaga) bagi rakyatnya. Ia bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya serta memberikan informasi yang akurat dan jelas kepada rakyatnya dalam menghadapi wabah.
Di antaranya, karantina wilayah. memfasilitasi setiap rumah sakit dengan fasilitas dan layanan kesehatan yang memadai, mendorong para ilmuwan untuk menemukan obat dan vaksin penyakit dengan dukungan penuh dari negara, memberikan gaji layak kepada para nakes dan dokter sebagai garda terdepan melayani pasien, mengedukasi dan memotivasi masyarakat dengan keyakinan penuh bahwa segala penyakit pasti ada obatnya. Masyarakat diminta berikhtiar dan bertawakal menjaga kesehatan
Olehnya itu dalam Islam jaminan kesehatan ini diberikan tidak hanya bagi kaum Muslimin saja, tapi juga bagi non-Muslim. Tanpa membedakan agama, bangsa, etnis, suku dan rasnya. Tanggung jawab negara dalam mengurus kebutuhan rakyatnya ini, ditegaskan Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis, yang artinya ; Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Semua itu bisa terwujud secara terstruktur dan sistematis manakala sistem Islam diterapkan dalam institusi negara Islam. "Wallahu A'lam Bisshawab"
Tags
Opini