Oleh : Fitri Selvia (Mahasiswa UIN)
RUU Tentang larangan minuman alkohol (minol) menimbulkan kontroversi. Hal dilakukan dalih mewujudkan ketertiban dan menaati ajaran agama. Menurut salah satu pengusung RUU larangan minuman beralkohol dari anggota Partai Persatuan Pembangunan atau PPP illiza sa'aduddin djamal berpendapat bahwa peraturan ini dibuat agar bisa menjaga ketertiban. Ia menuturkan minuman beralkohol dapat merusak kesehatan bahkan berakibat fatal terhadap hilangnya akal yang menyebabkan banyak terjadinya kasus pemerkosaan kecelakaan dan lain sebagainya. Illiza juga menambahkan bahwa agama Islam yang mayoritasnya dianut oleh masyarakat Indonesia telah melarang konsumsi minuman beralkohol. Menurutnya agama-agama lain juga tidak mengizinkan umatnya untuk mengkonsumsi minuman beralkohol.
Merespon RUU tersebut ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia, Stefanus mengutarakan kekhawatirannya jika RUU ini sampai disahkan. Ia berpendapat bahwa apabila RUU ini disahkan nantinya dikhawatirkan dapat membunuh pariwisata Indonesia. Kementerian keuangan mengumumkan sekitar Rp 7,3 triliun pada penerimaan Cukai Negara Tahun 2019 didapat dari minuman beralkohol. Stefanus menyebutkan hal tersebut besar bagi penerimaan negara. Ia berpendapat pelarangan tersebut tidak perlu dilakukan tapi cukup diatur dan diawasi, seperti mengenai usia orang yang diperbolehkan untuk mengkonsumsinya. (bbc.com, 13/11/2020).
Hal Senada juga disampaikan oleh Firman Soebagyo yang merupakan ketua kelompok fraksi Golkar di baleg. Ia menuturkan bahwa ada persoalan keberagaman yang harus diperhatikan karena di beberapa daerah atau agama tertentu minuman beralkohol digunakan untuk kepentingan ritual. (tempo.co, 13/11/2020).
Ketua umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultam juga merespon terkait RUU ini. Menurutnya hal yang dibutuhkan saat ini ialah pengendalian pengaturan dan pengawasan yang ketat oleh para penegak hukum bukan tentang pelarangan minuman beralkohol. Ia juga menambahkan sangat penting adanya pembinaan oleh seluruh komponen masyarakat agar warga bisa bertanggung jawab sehingga penyalahgunaan minuman beralkohol tidak terjadi lagi. (ccnindoneisa.com, 13/11/2020)
Hal ini bukan pertama kalinya dilakukan pengusulan terkait pelarangan minuman beralkohol. Sebenarnya RUU tentang larangan minum beralkohol ini telah ada sejak tahun 2009. Namun karena banyak terjadinya perdebatan persepsi antar anggota dewan, pembahasannya selalu saja putus di tengah jalan dan tidak pernah berhasil untuk disahkan. Sangat jelas sekali apabila pembuatan peraturan hanya disandarkan pada penilaian manusia, baik dan buruknya sesuatu hanya bergantung pada pandangan manusia yang memiliki banyak kekurangan, tentulah akan menimbulkan kemudaratan dan hanya akan mementingkan kepentingan bisnis semata. Inilah buruknya sistem demokrasi yang diterapkan saat ini, dimana sistem ini meletakkan kedaulatan pada manusia. Menentukan antara yang baik dan buruk hanya dengan akal manusia yang sifatnya serba terbatas dan banyak kekurangan. Dimana akal manusia yang terbatas pun tidak bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada kecuali dengan jalan kompromi. Tidak ada yang bisa kita harapkan lagi dari penerapan sistem saat ini, ketika pembuatan hukum hanya berlandaskan pemikiran manusia.
Sekalipun RUU ini berhasil untuk disahkan tidak ada yang bisa menjamin ditutupnya segala pabrik-pabrik yang memproduksi minuman beralkohol tersebut. Meskipun di dalam RUU ini disebutkan ada denda dan sanksi bagi para pengkonsumsi minuman beralkohol, yaitu pidana paling sedikit 3 bulan dan paling lama 2 tahun atau denda paling sedikit 10 juta dan yang paling banyak 50 juta. Dan apabila seandainya pengkonsumsi minuman beralkohol ini memenuhi sanksi tersebut, apakah bisa memberikan efek jera bagi mereka? Seperti yang kita ketahui penerimaan Cukai negara yang terbesar juga didapat dari minuman beralkohol ini. Ini merupakan kesalahan besar apabila kita berharap jika disahkannya RUU ini bisa mewujudkan kesejahteraan, ketertiban dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat. Begitulah hukum yang dibuat berlandaskan akal manusia. Kesannya hanya mementingkan manfaat semata. Tak lagi memperhitungkan hukum Islam.
Padahal telah sangat jelas Allah menyatakan Segala minuman yang memabukkan itu hukumnya haram.
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)." (Q.S. Al-Maidah: 90-91)
Dari Ibnu Umar r.a. bahwasannya Nabi saw. bersabda, “Setiap hal yang memabukkan itu khamr, dan setiap yang memabukkan itu haram.” (H.R. Muslim)
Sangat jelas pengharaman alkohol yang telah diatur didalam Al-Qur’an dan hadis tersebut. Maka sudah sepatutnya kita sebagai seorang muslim mengikuti segala yang Allah perintahkan dan meninggalkan segala yang Allah larang. Di dalam sistem Islam yaitu khilafah, tentulah akan terdapat aturan pelarangan tentang minum beralkohol ini. Mulai dari dilarangnya mendirikan pabrik-pabrik yang memproduksi minuman beralkohol hingga pemberian sanksi bagi orang muslim yang mengkonsumsinya. Namun bagi non muslim apabila syariat mereka tidak melarang dalam mengkonsumsinya minuman beralkohol, maka mereka diperbolehkan untuk mengkonsumsinya. Tetapi produksi, konsumsi dan distribusinya hanya dibatasi untuk kalangan mereka saja. Dan tidak boleh untuk di diperjual belikankan secara umum. Apabila mereka melanggar maka mereka akan dikenai sanksi. Dengan begitu ketentraman dan keadilan akan bisa terwujud apabila segala aturan yang dilandaskan kepada syariat yang datangnya dari Yang Maha menciptakan yaitu Allah SWT.