Oleh: Tri Wahyuni Purbawati, S.Pd
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) telah menyatakan bahwa Ujian Nasional 2020 (UN 2020) akan dihapuskan. Seluruh siswa tak akan lagi menghadapi ujian nasional yang selalu membuat mereka terbebani. Menurut Nadiem Makarim, penyelenggaraan hanya dilakukan sampai 2020 saja. Sebagai gantinya maka siswa akan mengikuti Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter di tahun 2021.
Nadiem mengungkapkan alasan penghapusan UN 2020 adalah karena jika UN tetap dijalankan dimasa pandemi, akan beresiko tinggi bagi siswa, serta menurutnya UN sudah tak lagi digunakan sebagai penentu siswa untuk masuk ke perguruan tinggi. Sehingga itulah yang menjadi sebab Nadiem memutuskan untuk menghapus UN 2020 dan menggantinya menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen Nasional tidak hanya sebagai pengganti ujian nasional dan ujian sekolah berstandar nasional, tetapi juga sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan.
Dikutip dari laman Kemendikbud (07/10/2020), Asesmen Nasional 2021 adalah pemetaan mutu pendidikan pada seluruh sekolah, madrasah dan program kesetaraan jenjang sekolah dasar dan menengah. Asesmen yang dimaksud oleh kemendikbud ini terbagi menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter dan survei lingkungan belajar. Mendikbud menilai, adanya aspek tersebut sebagai syarat siswa untuk berkontribusi dalam masyarakat. Selain itu, Nadiem juga menjelaskan, hasil asesmen nasional akan menjadi cermin untuk melakukan refleksi dan mempercepat perbaikan mutu pendidikan Indonesia (Kompas.com, Oktober 2020).
Permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya UN bukanlah masalah sepele. Sehingga tak cukup jika hanya sekedar mengganti menjadi Asesmen Kompetensi Minimun dan Survei Karakter yang itu hanyalah perkara teknis saja. Sedangkan masalah pendidikan belum menyentuh akar persoalan yang harus diselesaikan. Apalagi jikaditelisik kembali, kebijakan yang berubah-ubah setiap pergantian menteri membuat arah pendidikan semakin rumit. Alih-alih ingin “memudahkan”, faktanya malah mempersulit. Hasil dari sistem pendidikan yang diterapkan belum nampak keberhasilannya sudah diganti dengan strategi baru dengan administrasi yang begitu kompleks.
Akibatnya tujuan pendidikan menjadi tak jelas. Hal ini berimbas pada output generasi. Bisa kita saksikan sendiri dilingkungan masyarakat, kenakalan remaja makin meningkat, tawuran, bulliying, kekerasan murid terhadap gurunya atau sebaliknya. Perlu evaluasi lebih mendalam untuk mencari penyebab utama mengapa sampai saat ini generasi yang terbentuk menampakkan karakter yang buruk. Berarti ada yang salah dengan konsep pendidikan yangdibentuk karena tak mampu melahirkan sosok pribadi yang tangguh, generasi pemimpin dan khoiru ummah. Padahal pendidikan harus berkesinambungan antara tujuan pendidikan yang dicapai dengan asas pendidikan yang diterapkan sehingga metode yang diberlakukan tepat.
Menyoal masalah UN sebenarnya hanyadalam ranah kognitif saja. Pemerintah hanya mengganti teknis kelulusan dengan mengambil nilai pembelajaran siswa. Sedangkan survei lingkungan belajar dapat diperhatikan bahwa tak semua daerah mendapatkan fasilitas belajar yang memadai.Mulai dari perangkat pembelajaran, kualitas guru dan ruang kelas yang nyaman.Terlebih di daerah yang akses menuju sekolah begitu sulit, sehingga mereka harus bertaruh nyawa dalam mendapatkan ilmu demi masa depannya.
Di sisi lain pendidikan dengan fasilitas terbaik dan guru berkualitas didapat di sekolah yang berbiaya mahal. Maka tak salah jika pendidikan hari ini dikapitalisasi. Maksudnya hanya yang mampu membayar mahal, mereka bisa mendapatkan pendidikan lengkap dan terbaik.Padahal negara sudah memberikan jaminan bahwa "pendidikan adalah hak segala bangsa" sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Namun hari ini itu hanyalah ilusi semata.
Ditambah output pendidikan yang semakin tak bermoral, tidak mampu diperbaiki hanya dengan pendidikan karakter. Mengapa pendidikan karakter saja dari sekolah tidak mampu mengantarkan generasi pada tujuan pendidikan yang mencetak generasi berakhlak ? Karena tidak ada sinergi antara sekolah dan negara. Sebab negara hari ini menerapkan Demokrasi dengan asas sekuler. Pendidikannya berbasis sekuler yaitu memisahkan agama dari kehidupan sehingga siswa bebas bertindak semaunya, sedangkan negara memfasilitasi kebebasan tersebut. Buktinya tontonan apapun bebas masuk meskipun merusak mental generasi. Bayangkan guru setengah mati mendidik karakter di sekolah bahkan orang tua menamkan nilai moral namun dirusak oleh media dan aturan dalam masyarakat yang mengagungkan kebebasan bertundak dan berperilaku.
Wajar permasalahanpendidikan semakin pelik.Hal ini membuktikan bahwa pemerintah tak pernah serius memberikan solusi. Alih-alih dapat mempercepat perbaikan mutu pendidikan di Indonesia, tapi nyatanya semakin carut marut. Sejatinya perbaikan mutu pendidikan harus di selesaikan secara menyeluruhkarena pondasi pendidikan sekuler itu sudah rapuh. Apabila pendidikan sekuler ini terus diterapkan, moral generasi terancam. Mereka bisa cerdas secara akademik tapi tak memiliki moral yang baik apalagi taat kepada Allah. Bisa dikatakan pendidikan saat ini telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang yang bertakwa.
Berbeda dengan pendidikan dalam Islam yang memiliki tujuanjelas, yaitu membentuk manusia yang berkarakter. Pertama, berkepribadian Islam. Kedua, menguasai tsaqofah Islam. Dan ketiga, menguasai ilmu kehidupan yang memadai.
Model pendidikan baik seperti itu semestinya bisa disediakan oleh negara, karena negaralah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana, prasarana yang memadai dan SDM yang bermutu.
Dua elemen yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan yakni ekonomi dan politik. Ekonomi akan melahirkan pengelolaan sumber ekonomi dan dana. Dengan ekonomi Islam yang diterapkan sumber - sumber pemasukan tidak didapat dari pungutan pajak tapi pos zakat, jizyah, kharaj, dan sebagainya. Dan sumeber daya alam todak boleh diprivatisasi oleh individu maupun perusahaan sehingga mencukupi untuk memperbaiki fasilitas pendidikan dan membayar gaji guru.
Sedangkan politik akan melahirkan kebijakan-kebijakan. Inilah yang menjadi titik pentinya pendidikan di Indonesia. Sistem politik dalam Islam adalah pengaturan urusan masyarakat termasuk pendidikan sehingga pendidikan akan gratis diberikan oleh negara karena hak masyarakat mendapatkannya. Dengan mengambil syariat Islam secara menyeluruh, persoalan pendidikan mampu diselesaikan.
Tidak dipungkiri kehidupan kapitalistik di negara yang tidak taat kepada Allah sebuah kebijakan dibuat karena adanya kepentingan. Sehingga untuk membangun model pendidikan seperti masa kejayaan Islam tentu akan menghadapi banyak kendala. Apalagi jika syariat Islam belum diterapkan secara menyeluruh. Maka tugas kita sekarang adalah mewujudkan negara Khilafah Islamiyah ditengah-tengah masyarakat yang terbukti mampu melahirkan generasi cemerlang.