Oleh : Ummu Hanif, Pengamat Sosial dan keluarga
Omnibus Law telah disahkan DPR pada Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan 2020-2021 di Komplek parlemen, Senayan, Jakarta. Selain pasal-pasal tentang Ketenagakerjaan yang menjadi kontroversial dalam Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR-RI pada Senin (5/10) lalu, Omnibus Law juga melakukan sejumlah perubahan yang cukup signifikan pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 (UU JPH) mengenai Jaminan Produk Halal. Dalam aturan tersebut Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dapat melibatkan organisasi masa Islam dalam menetapkan fatwa halal terhadap suatu produk.
Sementara itu, Menteri Agama Fachrul Razi menilai bahwa omnibus law hanya akan menyederhanakan proses. Sebagaimana yang dikutip dari www.kliklegal.com, 7/10/2020, beliau menyatakan, “Bagaimana membuat mempercepat, membuat efisien (proses sertifikasi jaminan halal),” kata Fachrul Razi.
Sementara itu, masih dalam sumber yang sama, Direktur Eksekutif Halal Watch Ikhsan Abdullah mengatakan terminologi halal hanya dapat diberikan orang dengan kompetensi keulamaan, dalam hal ini MUI. “Kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI bukan yang lain,” kata Ikhsan.
Jadi jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Hal ini yang kemudian dinilai oleh beberapa kalangan sebagai kebijakan yang sangat berbahaya.
Dikutip dari RRI.co.id (14/10/2020) Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.
"Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi," kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI.
Di sisi lain, pernyataan berbeda keluar dari Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin. Beliau mengatakan bahwa pengembangan kawasan industri halal (KIH) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar dunia.
Pernyataan tersebut memaparkan bahaya omnibus law di aspek standar halal yang bisa dilakukan dengan self-declare dan atau dikeluarkan tanpa menunggu fatwa MUI. Hal ini menegaskan bahwa watak kebijakan kapitalistik yg berorientasi kemudahan investasi (dengan proyek Kawasan Industri Halal (KIH)) bisa mengorbankan standar halal sesuai syariat.
Inilah watak negara yang mengesampingkan aturan agama dalam kehidupan. Para pemangku jabatan cenderung lebih rela mengorbankan kebutuhan rakyatnya demi keuntungan yang akan mereka dapat dari para pemilik modal. Merekapun abai dengan apa yang seharusnya menjadi kewajiban mereka untuk mengawasi dan menyediakan produk halal demi terjaminnya ketaatan rakyatnya atas urusan agama mereka.
Padahal, dalam Islam sudah sangat jelas mengatur urusan halal dan haram. Aturan tersebut menjadi hal yang mendasar yang harus ditaati oleh umat Islam. Dalam Islam, kehalalan suatu produk menjadi prioritas utama, yang ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya Q.s : An-Nahl ayat 114:
Maka, negara harus berperan dalam mengawasi beredarnya produk halal diantara rakyatnya. Dalam Negara Islam kehalalan produk yang beredar di pasar sangat dijaga. Semua produk yang beredar di masyarakat dipantau langsung oleh negara, demi kemaslahatan bersama.
Waallahu'alam bishowab.[]