Oleh : Tita Rahayu Sulaeman
(Pengemban Dakwah, Komunitas Menulis Ksatria Aksara)
Pemerintah berencana menggelar sekolah tatap muka pada tahun 2021 mendatang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyatakan hal ini pada siaran melalui kanal Youtube Kemendikbud pada 20 November 2020 lalu (kompas.com 24/11). Keputusan ini didukung oleh Komisi X DPR RI. Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda menyatakan bahwa sekolah tatap muka menjadi kebutuhan karena pembelajaran jarak jauh selama ini dirasa tidak efektif. Terutama para pelajar di daerah yang terkendala sarana dan prasarana pendukung proses PJJ (liputan 6.com 20/11/2020). Pemerintah menekankan bahwa sekolah tatap muka nantinya harus digelar dengan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Keputusan pemerintah menggelar sekolah tatap muka dirasa belum tepat. Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman mengatakan hal ini sangat membahayakan. Ia menjelaskan bahwa positifity rate Indonesia dalam penanganan kasus Covid-19 masih di atas 10 %. Setidaknya angka positivity rate harus berada di bawah 5 %, untuk kembali membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka. Seperti yang dilakukan Australia, membuka kembali sekolah untuk pembelajaran tatap muka ketika positivity rate berada dibawah 5%. Angka positivity rate diperoleh dari jumlah total kasus positif dibagi jumlah orang yang dites dikalikan 100. Semakin banyak jumlah orang yang dites, angka positivity rate akan semakin rendah. WHO menetapkan standar positivity rate di angka 5% (kompas.com). Jika sekolah tetap dibuka untuk pembelajaran tatap muka, dikhawatirkan akan menjadi klaster baru penyebaran virus Covid-19.
Boleh jadi, kembalinya anak-anak ke sekolah tatap muka adalah berita yang dinanti-nanti oleh para orang tua, pelajar serta guru yang selama ini terlibat dalam pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran jarak jauh dirasakan berat bagi pelajar, orang tua maupun guru. Namun, keputusan pemerintah membuka kembali sekolah tidak serta merta membawa kelegaan. Bagaimana pun, masyarakat Indonesia mengetahui bahwa masa pandemi belum usai. Hingga bulan kesembilan pandemi, masih ditemukan kasus baru covid-19. Jumlah korban meninggal terus bertambah. Berdasarkan data yang diunggah di situs covid.go.id per tanggal 26 November 2020 tercatat, 511.386 orang terkonfirmasi positif dan jumlah korban meninggal sebanyak 16.225 jiwa. Keputusan pemerintah untuk kembali menggelar sekolah tatap muka, tentu menjadi dilema bagi rakyat.
Inilah buah dari ketidaktegasan pemerintah dalam menangani penyebaran virus covid-19 sejak awal ditemukannya pada Maret lalu. Tidak ada kebijakan tegas untuk menghentikan laju penyebaran virus dan pergerakan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan test dan tracing secara massif kepada seluruh rakyatnya, guna memisahkan orang yang terkena virus atau tidak. Akibatnya, hanya dalam waktu beberapa bulan virus menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Alih-alih melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran virus covid-19, pemerintah memilih memberlakukan kebijakan PSBB dengan dalih roda ekonomi harus tetap berputar.
Diterapkannya kebijakan PSBB sejak bulan April 2020 lalu, berdampak pada sektor pendidikan yang mengharuskan pembelajaran dilakukan secara jarak jauh atau daring. Namun kebijakan ini tidak dibarengi dengan penyediaan sarana dan pra sarananya. Sebelum masa pandemi, ketimpangan fasilitas pendidikan di Indonesia nyata terlihat terutama di daerah-daerah. Pandemi ini semakin menunjukan kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya.
Terdapat sebuah perbedaan besar antara solusi dalam sistem islam dengan kapitalis sekuler dalam pelaksanaan pendidikan di saat pandemi. Dalam islam, nyawa manusia adalah sesuatu yang sangat berharga. Rasulullah SAW bersabda,
“Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa haq” (HR. an-Nassa’i dan at-Tirmidzi).
Hadist ini menjadi landasan dalam pengambilan keputusan penanganan pandemi. Nyawa lebih utama dari ekonomi atau apapun. Karantina wilayah, test dan tracing yang massif dilakukan kepada seluruh masyarakat untuk mengetahui status kesehatannya. Kebijakan karantina orang yang sakit, maupun karantina wilayah sumber penyebaran juga disertai dengan penjaminan kebutuhan dasar orang-orang di dalamnya. Sehingga tidak ada pergerakan ke luar wilayah yang berpotensi membawa virus semakin menyebar. Jika pandemi telah teratasi, barulah sekolah tatap muka bisa diselenggarakan kembali.
Sementara pendidikan dalam islam adalah sebuah kebutuhan asasi bagi rakyat yang harus dijamin oleh penguasa. Baik masa pandemi atau bukan, negara wajib memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya. Mulai dari penyediaan sarana dan pra sarana, hingga menentukan kurikulum pendidikan yang berlandaskan aqidah dan syariat. Kurikulum diatur sedemikian rupa dengan tujuan tidak hanya membuka cakrawala berpikir, tapi juga menjadikan setiap peserta didik taat dan tunduk hanya kepada Allah SWT.
Dilema sekolah tatap muka semestinya tak pernah ada. Jika pemerintah menjalankan roda pemerintahannya semata-mata untuk mengurus kepentingan rakyatnya. Menyelamatkan nyawa akan diletakan sebagai prioritas. Tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Baik kebutuhan dasar pangan, kesehatan, keamanan dan juga pendidikan. Hanya pemerintahan dari negara khilafah yang mampu mewujudkannya. Dengan syariat yang telah Allah turunkan, agar menyelamatkan umat manusia di dunia dan akhirat.
Wallahu’alam bishawab