Oleh: Echi Aulia
Aktivis Muslimah dan Member AMK
Bermain layangan di tengah angin yang sedang bertiup kencang. Tarik kemudian ulurkan. Begitulah yang terjadi pada wajah pendidikan hari ini. Bagaimana tidak, hampir sembilan bulan Covid-19 membersamai penduduk bumi. Namun hingga hari ini belum jua menampakkan tanda-tanda berakhirnya wabah.
Menjelang awal Januari 2021 ini, pasalnya Kemendikbud akan mengeluarkan kebijakan sekolah tatap muka. Yaitu pada semester genap tahun ajaran 2020/2021 mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. (www.bbc.com, 23/11/2020).
Hal ini juga ditegaskan oleh Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Menengah di Kemendikbud, Jumeri. Ia mengatakan sekolah tatap muka tak bisa di tunda lagi mengingat banyaknya kelemahan yang ditemukan dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang akan merugikan peserta didik.
Kendati demikian, pemerintah daerah tetap diberi kebebasan memilih wilayah mana yang akan diberlakukan sistem pembelajaran tatap muka. (www.bbc.com, 23/11/2020).
Akibat dari kebijakan demokrasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak nyaris terancam di negeri ini. Normalnya belajar di bangku pendidikan tak lagi dapat dirasakan selama pandemi.
Inilah yang membuat dilema para orang tua, guru dan peserta didik. Disatu sisi PJJ yang dilakukan secara daring maupun luring tidak berjalan dengan efektif. Mengingat sulitnya menjangkau fasilitas seperti jaringan internet, hp dan kuota internet. Khususnya masyarakat pedesaan.
Namun di sisi lain, jika pembukaan sekolah tetap dilakukan, khawatir akan keselamatan jiwa para murid dan peserta didik. Sebab, persiapan protokol kesehatan yang dilakukan belum tentu dapat menjamin mereka terbebas dari wabah penyakit.
Tak dipungkiri dilema sekolah tatap muka ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sejak awal wabah ini muncul tarik ulur kebijakan telah dilakukan oleh pihak yang berwewenang. Penyebabnya karena tetap bersikukuh dengan jalan yang ditawarkan kapitalisme. Padahal, Islam telah menawarkan solusi tanpa harus mengorbankan banyak pihak.
Wajar, Sebab metode penanganan wabah yang diadobsi adalah metode kapitalis. Jelas dominannya pada kepentingan bisnis konglomerat, bukan kepentingan nyawa rakyat.
Padahal, jika mau mengambil metode Islam tentu orang-orang yang tidak terjangkit wabah masih bisa menjalankan aktivitas pendidikan normal.
Caranya yaitu memisahkan antara orang yang sakit dengan orang yang sehat sedari awal wabah ini muncul. Bagi yang terjangkit wabah segera dilakukan tes dan tracing. Setelah itu Isolasi segera dilakukan. Kemudian dilihat dengan siapa saja ia berinteraksi. Orang-orang yang berinteraksi juga harus dilakukan tes. Begitu seterusnya.
Selanjutnya menutup wilayah yang terdampak wabah dan meminimalisir aktivitas di dalamnya. Secara otomatis daerah yang tidak terdampak masih dapat melakukan aktivitas di berbagai sektor termasuk pendidikan.
Begitulah syariat Islam menjaga jiwa manusia. Bukan justru menyepelekan hilangnya nyawa meskipun hanya satu jiwa.
Rasulullah saw pernah bersabda,
"Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa haq." (HR. an-Nasa'i dan At-Tirmidzi).
Wallahu a'lam bishshawwab.
Tags
Opini