Oleh: Lilieh Solihah.
Berbagai Undang-Undang (UU) kontroversial menjadi opini yang menguat. Pengesahan UU KPK menjadi polemik pertama di awal periode kedua Presiden Jokowi. Pembahasannya telah dimulai jauh sebelum pelantikan periode kedua Jokowi. Rencana revisi UU itu pertama kali muncul di DPR pada 2015 yang memasukkan revisi UU KPK dalam prioritas Program Legislasi Nasional. Namun berbagai penolakan dari masyarakat berbuntut penundaan usai Presiden Jokowi melakukan pertemuan dengan pimpinan DPR. (CNN Indonesia, Selasa 20/10/2020).
Pengesahan selanjutnya adalah UU Minerba yang juga mendapat penolakan dari kalangan masyarakat sipil. RUU Minerba yang menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu disahkan pada 13 Mei 2020. Sejumlah poin dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Beberapa ketentuan yang diubah di antaranya soal penghapusan sanksi bagi pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan hingga penghapusan kewajiban untuk melaporkan hasil minerba dari kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan. (Media Indonesia News, 13/5/2020).
Kompas.com pun mencatat hal yang sama, setidaknya ada tiga undang-undang kontroversial yang disetujui pemerintah dan DPR meski menimbulkan polemik. Ketiga undang-undang itu adalah revisi UU Mineral dan Batu Bara, revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK), omnibus law UU Cipta Kerja.
Tidak hanya menuai kontroversi, kita juga melihat fakta bahwa, semakin banyak kalangan pengusaha yang menjadi elite politik. Sehingga kebijakan-kebijakan itu sarat dengan kepentingan para pengusaha. Ada juga fakta bahwa, pada saat pemilihan, calon-calon itu dimodali oleh para pengusaha, sehingga saat setelah menduduki jabatan, akan ada ‘balas jasa’ kepada pemodal, akhirnya kongkalikong antara pengusaha dan penguasa begitu kuat. Lalu rakyat kemana? Siap-siap menjadi korban kebijakan aturan.
Kebijakan penuh kontroversi tidak cukup dievaluasi meanisme lahirnya, namun harus dikoreksi secara mendasar dari sumber lahirnya regulasi tersebut. Sumber lahirnya adalah demokrasi. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. (wikipedia)
Singkatnya demokrasi yang kita kenal adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Lalu apakah benar seperti itu kenyataannya?
Akan selalu muncul kontroversi dalam sepanjang pemberlakuan sistem demokrasi baik di aspek substansi (isi yang tidak mewujudkan kemaslahatan publik) ataupun di aspek prosedur (nihil rasa keadilan dan mengabaikan aspirasi rakyat). Demokrasi sejatinya adalah sistem yang lahir dari asas sekularisme (paham pemisahan antara agama dan kehidupan. Dalam kitab Nidzhomul Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dipaparkan sangat jelas bahwa “Sekularisme adalah Pemahaman yang lahir dari peradaban Eropa.
Berbeda halnya dengan sistem Islam/ khilafah. Negara melahirkan UU yang selaras dengan fitrah manusia dan memenuhi kemaslahatan seluruh pihak. Karena UU yang dilahirkan, bersumber dari hukum-hukum Allah yang maha Tahu dan Maha Adil, bukan hukum buatan manusia yang dibuat sesuai hawa nafsu belaka.
Wallahua'lam bisshawab...
Oleh: Lilieh Solihah.
Tags
Opini