Oleh: Eka Septi
Ancaman Kebebasan Sipil
Lembaga Indikator Politik Indonesia mencoba
memotret kondisi demokrasi di Indonesia melalui survei opini publik. Salah satu
yang menjadi variabel yakin hak menyatakan pendapata. Direktur Eksekutif
Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pihaknya
menanyakan setuju tidaknya responden dengan adanya pernyataan bahwa warga makin
takut dalam menyatakan pendapat.
Indikator pun menjumlahkan hasil survei
sangat setuju dengan agak setuju. Hasilnya, mayoritas setuju bahwa kebebasan
sipil mulai terganggu. "Survei menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap
kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat
ini warga makin takut menyuarakan pendapat 79,6 persen, makin sulit
berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8 persen, dan aparat dinilai
semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa
57,7 persen," terang Burhanuddin.
Survei tersebut dilakukan pada 24 September
hingga 30 September 2020 dengan mengandalkan panggilan telepon karena pandemi
Covid-19.
Phobia Menyuarakan Pendapat
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pemerintah
menjadikan pendapat dan kritik masyarkat sebagai penyakit yang harus
dihilangkan. Terlihat jelas ambiguitas rezim demokrasi yang seolah menjamin
kebebasan, tapi faktanya antikritik. Semua itu menjadi hal yang wajar, karena
demokrasi memang akan memunculkan tirani minoritas atas mayoritas. Karena dalam
sistem ini, kekuasaan adalah alat kepentingan individu atau kelompok.
Sudah nampak jelas dengan hal tersebut
selama ini masyarakat dibuat phobia menyampaikan aspirasinya. Mereka memilih
untuk diam dari pada bersuara, padahal di sisi lain mereka sudah jengah dengan
tingkah para penguasa. Berbagai cara seolah dilakukan penguasa agar bisa
membungkam mulut masyarakat dan menyetir geraknya. Sungguh miris rasanya.
Mengkritik kinerja pemerintah di rezim saat
ini seakan bunuh diri, bagaimana tidak? Ketika masyarakat menjadi sengsara
dengan berbagai kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah dan mereka mulai
buka suara, justru diganjar dengan tuduhan hate speech dan berakhir di
penjara. Katanya negara demokrasi, namun kenyataannya otoriter. Seharusnya,
dengan kritik sebuah pemerintah dapat introspeksi serta mawas dan sadar diri.
Tapi semakin dikritik, seolah pemerintah semakin “garang” dan merah telinga.
Berbeda halnya jika ungkapan “kebencian” dengan leluasa diungkapkan para
politisi, para pemangku kepentingan, atau pejabat negara, maka hukum sepertinya
tak pernah berlaku bagi mereka.
Padahal tugas pemerintah adalah menjamin
kesejahteraan dan melindungi rakyatnya bukan sebaliknya mencekik rakyat dengan
kekuasaannya. Jika kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak mampu
mensejahterakan rakyat, hak rakyat adalah mengoreksi penguasa. Namun di rezim
saat ini seakan akan penguasa anti kritik dan pada akhirnya rakyat pula yang kembali
jadi korban. Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam.
Sistem Islam Bukan Sistem Anti Kritik
Dalam sistem Islam, budaya muhasabah atau
kritik inilah yang dihidupkan dan dijaga dalam peradaban Islam. Rasulullah Saw,
adalah contoh terbaik dalam menjaga budaya kritik ini, beliau menerima kritik
terhadap kebijakan yang tidak dituntun wahyu.
Dalam perang Uhud, beliau menyetujui
pendapat para Sahabat yang menghendaki untuk menyongsong pasukan Quraisy di
luar kota Madinah, meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya. Sikap
Rasulullah Saw. Ini diikuti para Khalifah setelah beliau. Khalifah Abu Bakar
ra., ketika dibaiat menggantikan Rasulullah Saw., berkhotbah meminta rakyat
untuk mengkritiknya.
“Saudara-saudara, aku telah diangkat
menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya,
untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah
luruskanlah aku.” (Abu Bakar ra.)
Demikian juga Khalifah Umar bin Khaththab
ra. dalam khotbahnya setelah dilantik menjadi Khalifah pengganti Abu Bakar
ash-Shiddiq ra., berkata di depan rakyatnya, “Apa yg akan kalian perbuat jika
aku melakukan tindakan yang melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya?” Tidak ada
yang menjawab. Semua mata hanya menatap beliau. Hingga ketiga kalinya beliau
mengulangi pertanyaannya, seorang pemuda bergegas berdiri, mengacungkan pedang
dan berseru, “Jika engkau bertindak melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya, maka
pedang ini akan kukalungkan ke lehermu!” Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar
bin Khaththab bukannya marah, justru berkata, “Alhamdulillah yang telah
menempatkan di negeri ini seseorang yang akan meluruskan kebengkokan Umar
dengan pedangnya.”
Khudzaifah bin Al Yaman mendatangi Khalifah
Umar yang bermuka muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau
pikirkan wahai Amirul Mukminin?” Khalifah umar menjawab, “Aku sedang dihinggapi
ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang
mengingatkan dan melarangku, karena segan dan rasa hormatnya padaku.”
Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran,
aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, Wajah Khalifah Umar langsung berubah
sumringah.
Dalam pandangan Islam, politik negara adalah meriayah/mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah SWT. Kekuasaan (Kekhilafahan) merupakan jalan menerapkan syariat kaffah untuk kemaslahatan umat. Meskipun aturan hukum yang diterapkan adalah buatan Allah yang Maha Sempurna. Namun, Khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Karenanya, kritik bukanlah ancaman, bahkan dibutuhkan sebagai standar optimalisasi kinerja Khalifah yang akan dipertanggung jawabkan dunia-akhirat. Kritik umat terhadap penguasa adalah sunah Rasul dan tabiat dalam Islam, bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar tak tergelincir pada keharaman yang dimurkai Allah SWT.
Seorang pemimpin hendaknya mempunyai
pendengaran yang peka terhadap keluhan, bahkan kritikan rakyatnya. Ia menyadari
betul, kekuasaannya hanyalah amanah yang harus ia tunaikan kepada para
pemiliknya, yaitu rakyat yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, justru menindak
tegas dan memenjarakan jika menyampaikan kritikan pada penguasa.
Wallahu a’lam bish-showab