Oleh : Reny K. Sarie
(Pegiat Opini Islam & Pemerhati Sosial)
Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membidik partisipasi pengumpulan dana wakaf yang lebih besar dari masyarakat kelas menengah Indonesia, khususnya generasi muda alias milenial. Ia menyebut kesadaran kalangan ini terhadap instrumen wakaf tengah meningkat sehingga bisa dijadikan sumber keuangan baru untuk memenuhi pembiayaan dari dalam negeri.
Sri Mulyani mendasarkan hal ini dari realisasi pengumpulan dana instrumen wakaf kalangan menengah Indonesia tahun ini senilai Rp217 triliun, atau setara 3,4 persen total Produk Domestik Bruto (PDB). Data ini menunjukkan ada partisipasi yang cukup besar dari kalangan menengah dan jumlahnya bisa ditingkatkan sejalan dengan pertumbuhan penduduk kelas menengah di Indonesia yang saat ini mencapai 74 juta orang. (CNN Indonesia, Minggu 25/10).
Senada dengan Sri Mulyani, Wakil Presiden Ma’ruf Amin berencana untuk membuat Gerakan Nasional Wakaf Tunai (GNWT) untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam mengumpulkan dana sosial. Dana tersebut akan dipakai guna mendukung percepatan pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Menurut dia, wakaf tunai tersebut merupakan potensi besar yang belum tergali. Sebab, pemakaian dana wakaf selama ini condong dipakai untuk bantuan sosial di lingkungan masjid, madrasah, hingga proses pemakaman.
"Kita coba wakaf ini kita kembangkan lagi supaya nanti jadi dana besar yang bisa diinvestasikan, dikembangkan dalam jangka panjang. Ini juga untuk membantu sistem keuangan nasional, memperkuat," kata Ma'ruf Amin (Merdeka.com, Sabtu (24/10).
Sebetulnya, bukan kali pertama ini saja pemerintah membidik dana yang sumbernya berasal dari umat Islam. Setelah dibentuknya KNKS atau Komite Nasional Keuangan Syariah yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016, saat ini ekonomi syariah menjadi bidikan kembali. Tanpa kejelasan definisi dan parameter, Ekonomi Syariah memang tengah “booming” tidak hanya secara nasional bahkan internasional. Sangatlah reasonable jika ekonomi Syariah dijadikan sebagai primadona dunia saat ini. Sebab, potensi pasar dan potensi keuangan umat islam sangat menggiurkan.
Dana umat Islam di Indonesia juga demikian besar, dan bisa digunakan untuk pembangunan. Selama 2009-2017, Indonesia telah menerbitkan sukuk untuk membiayai sejumlah proyek senilai Rp 65,2 triliun atau US$ 4,9 miliar. Dana yang terserap dari penerbitan sukuk ini disalurkan untuk pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan publik. Selain itu, potensi keuangan umat Islam yang paling menggiurkan adalah dari zakat dan wakaf. Berdasarkan data dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), zakat di Indonesia memiliki total aset zakat hingga Rp 233,8 triliun. Aset tersebut memiliki potensi yang sangat besar dalam pengentasan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat di Indonesia.
Pro kontra pun bermunculan terhadap penggunaan dana umat Islam ini yang dimanfaatkan untuk berbagai program pemerintah seperti pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan hingga penguatan perekonomian nasional. Hal ini dilatarbelakangi banyaknya fakta akan sikap Pemerintah yang dinilai merugikan umat Islam bahkan memusuhi umat Islam. Masih segar dalam ingatan kita pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi, yang menyakiti hati kaum muslimin terkait paham radikal yang masuk melalui para hafidz Al-Qur’an yang good looking. Belum lagi pernyataan beliau soal celana cingkrang dan cadar.
Juga tindakan kriminalisasi terhadap faham Khilafah sebagai ajaran Islam, mempersoalkan kurikulum sekolah yang berisi konten Khilafah dan Jihad, belum lagi saratnya kepentingan agenda asing khususnya islamofobia yang mulai masuk ke bangku-bangku sekolah anak-anak didik kita.
Di depan mata, rakyat negeri ini disuguhi drama kriminalisasi para ulama. Sangat telanjang. Bagaimana tidak, tokoh-tokoh yang dianggap memiliki pengaruh cukup kuat kemudian dicari-cari kesalahannya. Tak hanya itu, para aktivis media sosial pun harus rela dicokok kepolisian dengan tuduhan melanggar UU ITE. Organisasi kemasyarakatan Islam HTI dibubarkan tanpa proses pengadilan. Pengajian dibubarkan. Belakangan orang gila mencari sasaran tokoh umat Islam.
Anehnya, kasus-kasus yang sangat nyata pelanggarannya terhadap hukum yang dilakukan oleh para pendukung penguasa tak tersentuh. Kasus Victor Laiskodat yang sudah dilaporkan oleh empat fraksi di DPR menguap. Kasus Ade Armando tak ada kabar beritanya. Para penghina ulama bergentayangan dengan bebas. Penista agama melalui layar televisi seperti Joshua Suherman, aman-aman saja. Bukankah seharusnya hukum tidak pandang bulu? Tak salah bila kemudian masyarakat Muslim menganggap rezim ini anti Islam.
Begitulah sesungguhnya watak asli penguasa dalam sistem demokrasi. Dimana rakyat khususnya kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas negeri ini dianggap hanya sebagai pendulang suara meraup kekuasaan. Janji-janji kampanye serta bujuk rayu semanis madu padahal sejatinya racun, sudah menjadi jurus andalan di setiap pesta demokrasi. Mantra memabukkan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” merupakan mantra jahat yang menipu dan menyesatkan pemahaman umat. Demokrasi, tidak ingin umat Islam absen dari hiruk pikuknya. Sebab, tanpa peran serta umat Islam demokrasi pasti limbung, roboh, jatuh bersimbah darah ditelan kekejaman sejarah.
Disebut mantra sesat karena dalam prakteknya demokrasi hanya mengeksploitasi umat. Walaupun faktanya sebagai mayoritas di negeri ini, bahkan sejak periode Soekarno, orde baru Soeharto hingga orde reformasi mayoritas anggota legislatif adalah muslim. Eksekutif juga diwarnai pemain muslim, bahkan semua Presiden beragama Islam. Meskipun demikian, tetap saja syariat Islam ditelantarkan. Tetap saja kepentingan umat Islam dipinggirkan. Tetap saja, hukum Allah SWT selalu diposisikan rendah, bahkan lebih rendah dari hukum warisan penjajah Belanda.
Demokrasi hanya menjadi sarana untuk meraih kekuasaan. Siapa yang ikut pemilu, membuka peluang dirinya untuk berkuasa. Itu saja. Tetapi, demokrasi tidak pernah membuka pintu -meskipun hanya satu inchi- untuk membiarkan syariat Islam masuk pemerintahan dan mengatur urusan kehidupan bernegara. Kedaulatan rakyat dalam demokrasi, telah mengunci kedaulatan Allah SWT hanya ditempatkan ada sektor domestik, sektor privat. Syariat Islam hanya dilibatkan dalam urusan nikah, talak dan rujuk. Sementara itu, untuk urusan mengelola tambang, mengelola sumber daya alam, mengelola sumber penerimaan negara, mengelola pelayanan publik, syariat Islam dipinggirkan.
Itulah sebabnya, betapapun pemilu dan Pilkada sudah dilakukan puluhan bahkan ratusan kali, tetap saja yang menguasai emas Papua adalah Freeport. Tetap saja tambang minyak dan batubara dikuasai swasta dan asing. Tetap saja kehidupan rakyat melarat. Tetap saja masih terjadi kasus busung lapar dan kurang gizi. Tetap saja Negara hutang riba hingga lebih dari 6000 T.
Dalam demokrasi, siapa pun yang menolak terlibat dalam pemilu dituding tidak sejalan dengan semangat perjuangan politik Islam. Faktanya, justru partai politik Islam yang terlibat demokrasi sering mengkhianati umat. Saat umat menolak pemimpin kafir, partai justru berjibaku membelanya. Saat umat didzalimi dengan Perppu ormas, partai justru diam seribu bahasa -seraya tetap duduk manis dengan menikmati lezatnya kue kekuasaan, sambil-ongkang kaki di singgasana kekuasaan- membiarkan umat sibuk demo sendiri, sibuk aksi 212. Parpol Islam tidak urun apapun bahkan meskipun hanya urun suara.
Sesungguhnya demokrasi akan segera tersungkur, jika saja umat Islam serius bersama-sama meninggalkannya dan berkonsentrasi menegakkan sistem Islam.
Wallahu’alam
Tags
Opini