Oleh : Tita Rahayu Sulaeman
(Pengemban Dakwah)
Seruan boikot produk asal Prancis menggema di penjuru dunia. Terutama di negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam seperti di negara-negara Timur tengah, Turki, Malaysia, hingga di indonesia. Aksi boikot dilakukan sebagai protes keras terhadap Presiden Prancis Emannuel Macron, yang telah mengatakan akan melawan gerakan separatis islam. Macron menyatakan hal ini setelah kejadian pembunuhan terhadap seorang guru karena menunjukan karikatur Nabi Muhammad SAW pada murid-murid di kelasnya. Menurutnya, pembunuhan ini adalah serangan terhadap kebebasan berbicara (Kompas.com 31/10).
Peristiwa penistaan terhadap ajaran islam dan Nabi Muhammad SAW kali ini bukanlah yang pertama. Pada 2005 surat kabar harian konservatif Denmark Jyllands-Posten menerbitkan 12 gambar dengan tajuk "Wajah Muhammad." Kartun Nabi yang diterbitkan Jyllands-Posten di Denmark dicetak ulang oleh Charlie Hebdo pada 2006. Terbitan keduanya menimbulkan kontroversi di dunia (cnn Indonesia 28/10). Tahun 2015 lalu, kantor majalah Charlie Hebdo mendapatkan kecaman karena menerbitkan kembali karikatur Nabi Muhammad SAW.
Penistaan terhadap agama islam terus berulang dengan alasan yang sama, yakni kebebasan berekspresi. Kecaman umat muslim seluruh dunia tidak menghentikan para pelaku tindakan penistaan. Dalam sebuah wawancara, salah satu kartunis Charlie Hebdo menyatakan bahwa kebebasan berekspresi, sekulerisme dan hak penistaan bukanlah hal yang usang. Mereka tidak akan berhenti dan akan berjuang untuk itu (kompas.com 5/09).
Paham Sekulerisme lah akar masalah penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan ajaran islam. Ketika agama disingkirkan dari kehidupan, manusia seolah memiliki hak mutlak atas dirinya sendiri dalam berkehidupan. Mengagungkan kebebasan berekspresi dan berbicara hingga melewati batas toleransi. Selama paham sekulerisme ini ada, maka para penista akan selalu menjadikannya tameng atas tindakan keji mereka.
Menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW dalam ajaran Islam adalah terlarang. Hal ini seharusnya bisa diterima dan dipahami orang-orang dari luar islam sebagai batas toleransi. Apalagi jika penggambaran sosok Nabi Muhammad SAW dilakukan untuk mengolok-olok. Kebebasan berbicara tidak bisa menjadi alasan pembenaran atas tindakan penistaan.
Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang mulia. Mentaati, mencintai serta bersholawat kepadanya adalah kewajiban bagi umat muslim. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, adalah penghinaan terhadap islam bahkan terhadap Allah SWT. Maka wajar jika umat muslim marah atas tindakan penistaan ini.
Pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid dari dinasti Utsmaniyah pernah terjadi penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Sultan Abdul Hamid marah besar ketika mendengar akan ada pementasan sebuah drama yang isinya mengolok-olok Nabi Muhammad SAW di Prancis. Sultan Abdul Hamid sebagai pemimpin umat islam saat itu kemudian memanggil duta besar Prancis dan menyerukan akan jihad fii sabilillah jika pementasan drama itu tidak dibatalkan. Pementasan drama itu pun berhasil digagalkan.
Sudah semestinya umat islam marah ketika ada pihak yang menghina Rasulullah SAW. Tindakan boikot produk asal Prancis semestinya dibarengi dengan boikot produk pemikiran asal Prancis yaitu sekulerisme dan demokrasi. Disadari atau tidak, kehidupan umat islam diseluruh dunia kini jauh dari hukum-hukum islam karena faham ini. Agama hanya dijadikan ritual di rumah-rumah ibadah, sementara dalam berkehidupan agama ditiadakan. Padahal ajaran islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Umat islam wajib secara menyeluruh mentaati ajaran islam.
Semoga kejadian ini tidak hanya menyisakan kemarahan, tapi juga menyadarkan umat agar kembali pada risalah Nabi Muhammad SAW secara kaffah dan memboikot pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan islam.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian”
(TQS al-Baqarah [2]: 208).