Boikot Negara Perancis, Cukupkah?



Oleh: Mariya

“Saya menyerukan kepada orang-orang, jangan mendekati barang-barang Prancis, jangan membelinya,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Di Kuwait, jaringan supermarket swasta mengatakan bahwa lebih dari 50 gerainya berencana memboikot produk Prancis. Kampanye boikot ini juga sedang memanas di Yordania dan Yaman.
Di mana sejumlah toko grosir membuat tulisan pernyataan bahwa mereka tidak menjual produk asal Prancis. Begitu pula di berbagai toko di Qatar, melakukan hal yang sama. Salah satunya jaringan supermarket Al Meera yang memiliki lebih dari 50 cabang di negara tersebut. Universitas Qatar juga menunda Pekan Budaya Prancis tanpa batas waktu. (palembang.tribunnews.com, 28/10/2020)
Tampak sejumlah negara berpenduduk Muslim memboikot produksi Prancis. Hal itu menandakan masih adanya ‘nyawa’ bagi umat Islam menghadapi Barat dengan segala bentuk kebenciannya pada Islam. Namun ini tidak akan ampuh menghentikan total penghinaan berulang terhadap Nabi Muhammad Saw. 
"Kami tidak akan melepaskan karikatur, gambar, bahkan jika orang lain mundur," kata Presiden Macron, pekan lalu.
Yordania, Pakistan, Mesir, dan Iran termasuk di antara negara-negara Islam yang mengutuk Perancis atas pembelaan penerbitan karikatur tersebut dan tanggapan Macron. Namun pemimpin Eropa lainnya, mendukung Presiden Macron, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel. Pemimpin Yunani dan Austria juga telah menyatakan dukungannya untuk Presiden Macron.
Sebagai negara yang terbuka dengan total pangsa ekspor terhadap PDB mencapai lebih dari 30%, ekspor Prancis ke negara-negara muslim seperti Timur Tengah pasti akan mengalami penurunan. 
Jika mengacu pada data Observatory Economic Complexity 2018, total ekspor Perancis ke berbagai negara muslim mencapai US$ 41,1 miliar atau setara dengan 7,29%, dari total ekspor keseluruhan negara itu, yang mencapai lebih dari US$ 530 miliar.  
Namun banyak ekonom menilai dampak ekonomi yang ditimbulkan terbilang kecil dan hanya bersifat jangka pendek saja. 
Sementara seruan boikot disebut Kementerian Luar Negeri Prancis tak ada gunanya. Asosiasi Industri Makanan Nasional Prancis (ANIA) mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk menilai konsekuensi ekonomi bagi pasar Timur Tengah yang mewakili 3% dari semua ekspor.
Asosiasi mengatakan mendukung pernyataan pemerintah yang menyerukan untuk kembali tenang dan tidak mengambil tindakan pembalasan.
Ironisnya, umat Islam selalu tampak tak berdaya, padahal jumlahnya mayoritas di dunia. Mereka selalu jadi bulan-bulanan dan objek penghinaan. Bahkan kerap dimanfaatkan untuk kepentingan politik para pemburu kekuasaan.
Kalaupun ada perlawanan, mereka hanya bisa lantang mengecam, melakukan aksi massa besar-besaran, atau paling banter menyerukan boikot atas barang-barang produksi negara pendukungnya.
Namun seperti biasa, semua itu seolah tak berpengaruh apa-apa. Bahkan menguatkan citra yang sengaja dibangun oleh musuh, bahwa umat Islam pemarah, reaktif, sumbu pendek, anti kebebasan, intoleran, bahkan separatis.
Memang betul, untuk kasus Prancis, reaksi keras umat Islam sempat mengancam bursa saham produk mereka. Namun alih-alih menghentikan penghinaan, Macron presidennya tetap geming dalam kebebalannya.
Dia terus menegaskan bahwa sikap dan keputusannya tak salah sama sekali. Bahkan reaksi umat Islam seperti ini, seakan menjadi tambahan amunisi untuk menyerang lebih gencar lagi. 
Ustaz Labib menjelaskan, produk prancis sejatinya terbagi dua, yaitu madaniyah (barang) dan hadharah (demokrasi, trias politica, sekularisme). produk hadharah-nya inilah yang meniscayakan manusia membuat hukum dan ini bertentangan dengan islam karena di dalam islam pemilik kedaulatan adalah syariat. yang berhak membuat hukum hanya allah, bukan negara, rakyat, atau yang lainnya. semestinya kaum muslimin menolak hadharah yang bertentangan dengan islam. “Harus memboikot produk hadharah prancis, boikot sekularisme. dengan diadopsinya sekularisme maka negeri ini dijajah, kekayaan alamnya diambil, dan penghinaan terhadap nabIbn."  
Mundzir menyatakan, mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi Saw. adalah hukuman mati.
Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih, dan Imam as-Syafii (Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, hlm. 428).
Al-Qadhi Iyadh menegaskan, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum muslim tentang halalnya darah orang yang menghina Nabi Saw. Dalam Islam, hukuman mati atas penghina Baginda Nabi Saw. dilakukan Imam/Khalifah atau yang mewakilinya (Lihat: Al-Kasani,  Bada’i as-Shana’i’, 9/249).
Khalifah tidak akan tinggal diam jika ada yang menghina Rasulullah Muhammad Saw. Pasalnya, Khalifah memang wajib menjaga kemuliaan Allah SWT, Rasulullah Saw. serta ajaran Islam dan simbol-simbolnya.
Jika pelakunya negara seperti Prancis saat ini, Khalifah tidak segan-segan untuk menyerukan pasukannya dan kaum muslim untuk berjihad melawan negara tersebut. Hal ini pernah dilakukan pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah, di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II (1876-1918).
Pada saat itu, Prancis merancang drama teater yang diambil dari karya Voltaire (seorang pemikir Eropa) yang menghina Nabi Muhammad saw. Drama teater yang sudah dipersiapkan akhirnya dibatalkan setelah Khalifah Abdul Hamid II mengultimatum dan mengancam Pemerintah Prancis dengan seruan jihad.
Karena itu, atas penghinaan kepada Baginda Rasulullah Saw., umat Islam wajib marah. Ulama besar Buya Hamka rahimahulLâh mempertanyakan orang yang tidak muncul girahnya ketika agamanya dihina. Beliau tegas menyatakan, “Jika kamu diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan.”
Karena itu pula, marilah kita bela agama kita. Mari kita bela kehormatan Nabi kita yang mulia. Sungguh Nabi kita yang mulia telah berjuang membela nasib kita agar menjadi hamba-hamba Allah SWT yang layak mendapatkan jannah-Nya kelak.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak