Oleh : Ressa Ristia Nur Aidah
Utang Indonesia bertambah lagi. Bahkan jumlahnya cukup besar dalam waktu yang relative berdekatan atau tak sampai dua minggu. Total utang baru Indonesia yakni bertambah sebesar lebih dari Rp 24,5 T.
Adapun rincian utang luar negeri ini berasal dari Australia sebesar Rp 15,45 T dan utang bilateral dari jerman sebesar Rp. 9,1 T. Pemerintah mengklaim, penarikan utang baru dari Jerman dan Australia tersebut dilakukan untuk mendukung berbagai kegiatan penanggulangan pandemi Covid-19. (www.kompas.tv)
Padahal menurut laporan bank Indonesia pada bulan Agustus 2020, utang luar negeri Indonesia meningkat menjadi sekitar Rp 6.074 triliun. Meskipun Indonesia dengan segala kekayaan yang melimpah ruahnya, tapi penguasa saat ini tidak menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Mereka justru memberikannya kepada para kapital untuk mengelola SDA tersebut.
Ledakan utang ini tidak patut dibanggakan karena hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola SDA dan kekayaan alam negeri ini.
Islam mempunyai cara mengatasi jebakan-jebakan utang para kapitalis. Tentunya ada tindakan-tindakan praktis yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan utangnya. Perlu diketahui, pemerintahan dalam Islam bukanlah pemerintahan seperti saat ini yang merujuk segala aturannya kepada hukum buatan manusia. Namun, pemerintahan yang dimaksud adalah sistem pemerintahan Islam, yang disebut sebagai Khilafah. Khilafah akan menyelesaikan jebakan utang sesuai pandangan syariat. Utang yang sah adalah utang yang tak mengandung unsur ribawi.
Berikut beberapa cara praktis yang akan dilakukan khalifah dalam menyelesaikan utang. Pertama, Khilafah akan memisahkan utang luar negeri pemerintah sebelumnya dengan utang pihak swasta. Jika utang itu milik swasta, merekalah yang harus membayar. Sebaliknya, jika melibatkan pemerintahan sebelum munculnya Khilafah, maka Khilafah harus mengambil alih sisa cicilan pembayarannya.
Kedua, sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokoknya saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam mengharamkan bunga.
Ketiga, meski diwajibkan melunasi sisa cicilan pokok utangnya, Khilafah perlu menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya. Hal itu dapat dilakukan dengan melobi agar pihak pemberi utang bersedia memberikan pemutihan. Bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam jangka waktu yang amat pendek, bisa meminta perpanjangan waktu untuk melunasi utang.
Keempat, utang sebelumnya akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh rezim sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka parkir di berbagai bank luar negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura, dan lain-lain, akan dijadikan jaminan negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri.
Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, Khilafah harus mengambil alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan negara. Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos Jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara.
Kelima, utang luar negeri yang dipikul swasta, dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang, Khilafah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka. Namun, bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, negara harus mengambil-alih dan menalangi utang-utang mereka, karena negara adalah penjaga dan pemelihara (Râ’in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.
Demikianlah beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan Khilafah dalam mengatasi jebakan utang luar negeri penguasa sebelumnya. Penyelesaian secara praktis ini akan menghancurkan dominasi kapitalis Barat. Juga menghapus ketergantungan negeri-negeri muslim pada dunia Barat. Selain itu dapat menambah kepercayaan diri kaum muslimin bahwa mereka dapat berdiri sendiri tanpa sokongan dari jebakan utang Barat. Wallahu a’lam bishawab.