Ada Apa Di Balik Narasi Islam Persuasif dan Damai ?




By :  Ummu Farhan

BUKA MATA.CO.JAKARTA -
Presiden Joko Widodo menyambut baik pelaksanaan Musyawarah Nasional X Majelus Ulama Indonesia (MUI). 
Melalui akun Facebook , Kamis (26/11/2020) Presiden Joko Widodo telah menyampaikan  mendukung penuh ikhtiar MUI dalam mewujudkan Islam rahmatan lil'alamin bagi kehidupan bangsa yang majemuk. 

Ia juga bersyukur bahwa ikhtiar MUI didukung oleh semua elemen bangsa yang menyadari untuk hidup berdampingan dan bekerja sama demi kebaikan dan kemajuan bangsa.

Dengan begitu pemerintah tidak dibiarkan sendirian, akan tetapi ditemani bahkan dibantu oleh berbagai ormas Islam bersama para ulama, habaib dan cendekiawan.

Presiden mengatakan bahwa pendekatan dakwah kultural yang persuasif dan damai, tidak menebar kebencian, jauh dari karakter ekstern dan merasa benar sendiri sangat sesuai dengan corak keislaman di Indonesia.

Apa yang dikatakan Presiden tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta perlakuan penguasa yang selalu mendiskreditkan ajaran Islam terkait dengan "jihad dan khilafah", mengkriminalisasikan ulama dan para aktivis dakwah Islam yang kaffah.

Padahal jihad dan khilafah adalah urgensi yang mampu menyatukan seluruh umat Islam dalam penerapan syariat Allah.

Akhir-akhir ini umat Islam, terutama para ulama dan aktivis Islamnya benar-benar diposisikan sebagai pihak tertuduh, pihak yang selalu menjadi sorotan penguasa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Hal ini sebagai akibat penerapan sistem sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), yang berlanjut pada pemisahan agama dari negara (fasludiin ‘anil hayah, fasludiin ‘anil daulah). Sistem ini telah merasuki kehidupan kaum muslimin.
Akibatnya umat Islam tidak lagi memiliki gambaran yang jernih dan utuh tentang Islam kaffah. Sehingga yang benar jadi disalahkan, yang salah dibenarkan.

Dan faktor eksternal berupa serangan orang-orang kafir penjajah juga sangat masif memojokkan kaum muslimin dengan agenda Global War On Terrorisms (GWOT).

Atas nama memerangi teroris dan kaum radikal, mereka melancarkan manuver-manuvernya untuk menyerang ajaran Islam, para ulama, dan ormas Islam yang menyampaikan Islam kafah dan Khilafah. Salah satu caranya ialah melalui konsep Islam moderat.

Mereka ingin membunuh Islam politik. Penjajah tidak ingin umat Islam bangkit dengan menerapkan syariah kaffah. Berbagai cara pun dilakukan untuk menghalangii kebangkitan Islam. Termasuk salah satunya menyodorkan konsep Islam moderat yang toleran dan damai dengan memelintir makna Islam rahmatan lil ‘alamin.

Tentu saja pernyataan (Presiden –red.) seperti ini, jika dibiarkan sangat berbahaya bagi kaum muslimin. 
Bahaya Pertama, akan ada kekaburan tentang gambaran Islam rahmatan lil ’alamin yang sebenarnya.

Sebagaimana dalam surah al Anbiya ayat 107 yang artinya :
‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia, tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian. Dengan kata lain, satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat.”

Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir di atas, bahwa diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia. Sedangkan hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.

Dengan diterapkannya hukum dan syariat Islam yang kaffah bagi seluruh manusia, baik muslim maupun kafir (dzimmi), akan mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga, dan kehormatan mereka.
Islam rahmatan lil’ alamin bukan bermakna moderat, yang justru menghalangi penerapan Islam kaffah.

Bahaya kedua, yaitu kekaburan tentang makna amar makruf nahi mungkar yang sebenarnya.

Amar makruf nahi mungkar adalah pokok dasar dalam agama dan menjadi tiang penegak yang kokoh bagi umat Islam; Esensi kekhalifahan yang diamanahkan Rabb Semesta Alam dan menjadi maksud yang paling besar dari diutusnya para Nabi. Sehingga ini menjadi kewajiban seluruh manusia, baik secara individu dan komunitas (jemaah).

Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imran: 104)

Amar makruf nahi mungkar hukumnya fardu ain bagi penguasa yang diberi amanah oleh Allah untuk memegang tampuk kepemimpinan seperti para Amir, para hakim, dan sebagainya.

Allah SWT mensyariatkan al-Imamah al-’Uzhma dan seluruh kekuasaan selainnya untuk menegakkan agama Allah, melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar, dan mencegah orang-orang zalim dan fasik dengan melaksanakan hukuman had dan takzir.

 Seandainya para penguasa atau pemimpin meninggalkan kewajiban amar makruf nahi mungkar dan jihad karena mengharap dunia atau takut atas jabatan dan kedudukan, atau ada unsur kecintaan kepada orang-orang kafir, fasik, dan munafik, keadaannya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah yaitu telah memakan harta haram dan berbuat keji.

Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban penguasa untuk melakukan amar makruf nahi mungkar jika menginginkan negeri yang baldatun thayibatun wa rabbun ghafur dengan cara menerapkan syariah kaffah dan jihad.

Ketiga, ungkapan bahwa dakwah itu jangan menebar kebencian, ekstrem, merangkul jangan memukul, justru menimbulkan keresahan dan perpecahan ditubuh umat Islam.

Tak ada dakwah yang isinya menebar kebencian, mengingat dakwah adalah mengajak kepada yang baik dan mencegah orang dari bermaksiat atau berbuat zalim.

Jangan sampai kaum muslimin terjebak dengan narasi orang-orang kafir yang membenci Islam dan kaum muslimin dalam menghalangi kebangkitan Islam.
Wallahu'alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak