Oleh : Khaulah
(Aktivis BMI Kota Kupang)
Indonesia memang kaya. Sudah sepantasnya mendapat sebanjar sematan. Negara agraris, negara maritim, negara seribu pulau, heaven of earth, paru-paru dunia dan lainnya. Karena memang begitu adanya. Ya, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Nanuny tenyata di pelosok negeri, tersimpan potret yang memprihatinkan.
Adalah warga pulau Pangabatang, Desa Parumaan, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka. Kebutuhan dasar seperti air bersih, rumah layak huni, pendidikan serta penerangan (listrik) belum terpenuhi. Air bersih didapatkan dari pulau lainnya dengan warga harus mendayung sampan. Terkait listrik, masyarakat menggunakan panel surya bekas yang dibeli dari Larantuka, Flores Timur. Itu pun tak seharian penuh.
Adapun terkait pendidikan, juga mendapat keluhan. Salah seorang guru mengeluhkan perihal gaji yang Ia dapat hanya senilai Rp.230.000. Bahkan gaji tersebut diterima tiga bulan sekali untuk masa enam bulan. Melihat hal ini, Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo lantas memberi solusi yaitu mencari pinnjaman. Sudah tepatkah solusi tersebut?
Dari sini tampak jelas bahwa negara tak turun tangan secara langsung mengurus rakyat. Negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Bagaimana mungkin kebutuhan rakyat terpenuhi selama negara tak menjadi pelayan rakyat?
Dengan kemiskinan dalam berbagai ranah semacam ini, pinjaman bukan solusinya. Karena pada dasarnya, kemiskinan seperti ini merupakan buah kesalahan dalam mengatur urusan rakyatnya. Penerapan atas sistem kapitalisme merupakan dalang kesalahan dan kerusakan yang terjadi.
Dengan kekayaan yang melimpah ruah, mestinya tidak ditemui hal ini. Kebutuhan rakyat sepatutnya terpenuhi. Tetapi, dengan kapitalisme yang menjamin kebebasan hak milik bagi rakyat serta salah mengelola sumber daya maka hal semacam ini lumrah terjadi.
Begitulah representasi penerapan sistem kapitalisme. Kerusakan serta kemiskinan merambah segala ranah. Sungguh tak seharusnya dipertahankan.
Lain halnya dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Kebutuhan pokok individu seperti sandang, papan, dan pangan menjadi tanggung jawab negara. Begitu pula kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan serta keamanan. Negara wajib mengadakan pemenuhan atas kebutuhan tersebut.
Bersandar pada hadis Nabi berikut, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan Ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari), kepengurusan terhadap rakyat benar-benar terlaksana. Seorang pemimpin benar-benar menjadi pelayan rakyatnya. Sehingga selama kurang lebih 13 abad Islam memimpin dunia, kesejahteraan dirasakan semua rakyatnya, tak terkecuali.
Hal ini karena daulah Khilafah memiliki seperangkat aturan yang bersumber dari Islam. Ada beberapa bentuk aturan agar terciptanya kesejahteraan. Pertama, dalam Khilafah kepala rumah tangga berkewajiban memberi nafkah bagi keluarganya. Kedua, apabila masih ada kekurangan yang menimpa seseorang maka keluarga dan tetangga turut melengkapi. Serta karena Khalifah menjalankan kewajibannya.
Rekaman jejak emas peradaban Islam terlihat bahkan dari catatan sejarawan non-Muslim. Durant dalam Story of Civilization mengatakan “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada para manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”
Dalam Khilafah, kepemilikan dibagi menjadi kepemilikan umum, individu serta negara. Kekayaan akan diatur dan disitribusikan sedemikan rupa agar tercipta kesejahteraan. Dengan kekayaan itu pula, akan menjamin kebutuhan rakyat terhadap pendidikan, kesehatan serta keamanan. Tidak akan ditemui ketimpangan ekonomi sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Tidak akan tampak kemiskinan dalam berbagai ranah seperti hari ini.
Mari kita tilik dari sejarah terkait jaminan air bersih, pendidikan, penerangan (listrik) serta rumah layak huni dalam Khilafah. Pertama, air bersih. Negara wajib mendirikan air bersih perpipaan sehingga kebutuhan air bersih bagi masyarakat terpenuhi. Kedua, pendidikan. Negara menyediakan berbagai fasilitas dan infrastruktur pendidikan. Buku-buku tak luput dari penyediaan negara. Gaji guru pun tak tanggung-tanggung yaitu kisaran 36 juta pada masa Khalifah Umar al-Khattab dan sekitar 26 juta hingga 96 juta pada masa Shalahuddin al Ayyubi.
Ketiga, penerangan (listrik). Pada masa Khilafah Bani Umayyah, Cordoba pada malam harinya diterangi lampu-lampu sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Tersedia juga masjid dengan 4.700 lampu yang menerangi. Keempat, rumah layak huni. Pembiayaan pembangunan rumah layak huni berbasis baitulmal. Rasulullah Saw telah mencontohkan pemenuhan rumah layak huni secara langsung. Yaitu menjadikan serambi masjid Nabawi sebagai tempat tinggal sejumlah orang papa. Sedangkan, mekanisme tak langsung tampak pada negara Khilafah yang mewajibkan setiap kepala rumah tangga memenuhi kebutuhan tanggungannya.
Oleh karena itu, jelas hanya dalam Islam kesejahteraan dapat terwujud. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QA. al-A’raf: 96).
Wallahu a’lam bishshawab.