Oleh : Suci Hardiana Idrus
Media sekuler tak hentinya menyerang Islam untuk kesekian kalinya. Dan bukan pula kali pertama syariat Islam di permasalahkan di kehidupan modern ini baik dari media atau pun dari kalangan aktivis kaum sekuler itu sendiri. Dengan dalih kebebasan, syariat ditinggalkan. Dengan dalih hak asasi, ajaran agama didistorsi.
Seperti yang kita tahu, pada hari Jumat tanggal 25 September 2020, DW Indonesia melalui akun Twitternya, @dw_indonesia mengunggah video tentang sisi negatif terhadap anak yang berhijab sejak usia dini.
“Apakah anak-anak yang dipakaikan #jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ia kenakan?,” tulis DW Indonesia di akun Twitternya.
Melansir dari Harian Aceh Indonesia, pada 27 September 2020, Dalam video ini DW (Deutch Welle) Indonesia mewawancarai perempuan yang mewajibkan putrinya mengenakan hijab sejak dini. Selain itu DW Indonesia juga mewawancarai Psikolog Rahajeng Ika. Ia menanyakan dampak psikologis bagi anak-anak yang sejak kecil diharuskan memakai kerudung.
“Mereka mengenakan atau memakai sesuatu tapi belum paham betul konsekuensi dari pemakaiannya itu,” kata Rahajeng Ika menjawab pertanyaan tersebut.
Feminis Nong Darol Mahmada ikut berkontribusi dalam konten tersebut, ia menganggap wajar saja seorang Ibu mengharuskan anak memakai hijab sejak kecil. Namun perhatikan komentar hipokritnya, “Tetapi kekhawatiran saya sebenarnya lebih kepada membawa pola pikir si anak itu menjadi eksklusif karena dari sejak kecil dia ditanamkan untuk misalnya “berbeda” dengan yang lain”.
Islam sangat memuliakan perempuan. Sehingga bisa kita jumpai di dalam al-Qur'an satu surah yang khusus membahas tentang perempuan yakni surah an-Nisa. Begitu istimewanya kaum wanita hingga Allah menurunkan syariat dengan menutup auratnya agar melindungi dirinya dari tindakan asusila yang menodai kehormatan darinya. Dengan hijab, tentu tak sembarang manusia bisa melihatnya. Kaum lelaki lebih mudah menundukkan pandangannya serta jauh dari syahwat durjana.
Sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur'an,
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. al-Ahzab : 59).
Masih ingatkah kita bagaimana derasnya upaya kaum feminisme memberangus syariat Islam yang mengikat kaum perempuan? Dengan dalil kebebasan dan HAM mereka seolah-olah membela hak-hak perempuan yang dibelenggu oleh aturan agama. Masih ingatkah kita kaum feminisme pernah membuat gerakan kampanye "No Hijab Day" hingga menjadi trending di Twitter?
Melansir dari REPUBLIKA.co.id, pada 19 Oktober 2014, Gerakan ini memprovokasi agar setiap Muslimah berjilbab melepas hijabnya dalam satu hari, yakni pada 11 Oktober 2014 lalu. Gerakan tersebut juga mengunggah foto berjudul No Hijab Day. Dalam keterangannya, gerakan tersebut mengungkapkan pernyataan sebagai berikut.
"Dalam solidaritas terhadap perempuan Muslim yang dipaksa mengenakan jilbab atau dikatakan, Allah akan menghukum mereka karena tidak menggunakan jilbab. Semua pria dan wanita, Muslim dan non-Muslim, diundang untuk tidak menggunakan jilbab untuk sehari".
Tak bisa dibayangkan bagaimana nasib umat ini ke depan, jika kaum muslimah saat ini merasa jijik dengan ajaran agamanya dan justru bangga menjadi pengusung ide-ide kufur yang justru semakin bertentangan dengan Islam? Bagaimana pula wajah generasi umat ini jika seorang muslimah merasa alergi dengan hijab yang hakikatnya menjaga dan memuliakan dirinya?
Kaum Muslim tidak pernah mengalami kemunduran dari posisinya sebagai pemimpin dunia selama tetap berpegang teguh pada agamanya. Kemunduran kaum Muslim mulai tampak tatkala mereka meninggalkan dan meremehkan ajaran-ajaran agama, membiarkan peradaban asing masuk menyerbu negeri-negeri mereka, membiarkan paham-paham Barat bercokol dalam benak mereka.
Dalam sistem sekular, aturan-aturan agama, dalam hal ini aturan Islam, memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Islam sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan Tuhannya saja. Dalam urusan sosial kemasyarakatan agama (Islam) ditinggalkan.
Runtuhnya khilafah Islam pada tahun 1924 adalah musibah besar bagi umat Islam. Tak ada lagi perisai yang melindungi umat Islam di seluruh dunia. Tak ada lagi yang membentengi mereka dari kerusakan peradaban liberal (paham kebebasan). Atas nama kebebasan dan modernisasi, kini perempuan hanya dijadikan sebagai komoditas bagi kapitalisme global. Perjuangan semu kaum feminisme, dengan jargon emansipasi, atau gender equality (kesetaraan gender) senantiasa justru berujung pada kehancuran perempuan, keluarga bahkan generasi.
Ini jauh berbeda dengan perlakuan Khilafah terhadap kaum wanita. Daulah Khilafah mengatur sistem sosial yang mampu melindungi perempuan dan keluarga dari kehancuran. Sistem sosial yang ditetapkan adalah sistem yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan di masyarakat berdasarkan syariat Islam, bukan berdasarkan liberalisme yang menjerumuskan manusia ke dalam kebebasan berpikir, berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan bertingkah laku. Suasana di masyarakat senantiasa dijaga dalam keadaan bersih dari pornografi dan pornoaksi dalam dunia nyata maupun dunia maya. Aturan Islam dalam kehidupan umum diberlakukan, yaitu kewajiban bagi perempuan untuk memakai pakaian syar'i (jilbab dan khimar) ketika keluar rumah, larangan berkhalwat, memisahkan laki-laki dan perempuan dalam kegiatan umum.
Daulah Khilafah juga menerapkan sistem sangsi Islam bagi pelanggar segala tindak kemaksiatan, baik yang berkategori hudud (yang melanggar hak Allah : zina, liwath, qodzaf, mencuri, murtad, pembegal, dan pemberontak) atau jinayat (pelanggaran hak manusia : pembunuhan). Begitu pula dengan pelaku yang melanggar sistem sosial, seperti tidak menutup aurat ketika keluar rumah, berkhalwat, suami yang tidak memberi nafkah kepada istri, tindak pelecehan dan pencemaran nama baik, dll. Pelanggaran ini akan dikenai hukuman ta'zir (sesuai dengan ijtihad dari sang Khalifah).
Dalam sistem Khilafah, wanita telah dimuliakan dengan segala bentuk penjagaan berupa aturan-aturan yang berlaku sesuai syariat Allah.
Wallahu'alam