Oleh: Elin Marlina, A.Md.
Pro-kontra Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka)
yang kontroversial belakangan ini semakin membuka mata kita bahwa kondisi
negeri ini makin terpuruk, tak terkecuali di bidang perundang-undangan. Bukan
kali ini saja UU/RUU yang menjadi polemik di tengah masyarakat. Sebelumnya ada
UU Minerba yang makin memberikan keleluasaan kepada asing dan aseng untuk makin
menguasai kekayaan alam milik rakyat. UU KPK yang justru makin melemahkan KPK dan
makin ramah terhadap para koruptor. Belum lagi RUU PKS, RUU HIP, dll yang
beraroma sekular dan liberal.
Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) adalah
pangkal keterpurukan negeri ini. Sistem sekular menolak campur tangan Tuhan
dalam mengatur kehidupan sehingga hukum-hukum Allah dipinggirkan bahkan
dicampakkan. Begitupula dengan dekmokrasi selaku pilar dari sekularisme yang
dalam teorinya menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Namun faktanya
demokrasi selalu didominasi oleh kekuatan para pemilik modal. Kekuatan para
pemilik modal atau para cukong sering berada di balik pembuatan banyak UU. Dan
UU Cilaka pun diyakini adalah salah satu diantaranya. Dengan demikian
sesungguhnya kedaulatan tidak dimiliki oleh rakyat dan kedaulatan rakyat
hanyalah jargon kosong belaka.
Di sisi lain jika rakyat benar-benar berdaulat justru
merupakan akar persoalan sekaligus cacat bawaan demokrasi. Rakyat adalah
manusia yang tak lepas dari hawa nafsu dan godaan setan. Demokrasi mengklaim
bahwa segala keputusan hukum selalu didasarkan pada prinsip suara mayoritas
rakyat. Faktanya Parlemen/DPR sering dikuasai oleh segelintir elit politik,
yang didukung oleh para pemilik modal. Sehingga yang terjadi adalah tirani
minoritas karena suara yang dihasilkan adalah suara mereka yang sesungguhnya
minoritas, tidak mencerminkan suara mayoritas rakyat. Maka wajar jika banyak
UU, keputusan hukum atau peraturan yang lahir dari Parlemen/DPR lebih mewakili
kepentingan mereka yang sesungguhnya minoritas itu dan berpotensi merugikan
mayoritas rakyat.
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita kembali
kepada hukum Allah SWT. Tidak lain dengan melaksanakan perintah Allah dan
Rasul-Nya, yang wajib maupun yang sunnah. Allah memerintahkan untuk menaati
ulil amri, yakni para pemimpin manusia baik para amir, penguasa atau para mufti
(ulama). Dengan syarat ulil amri tersebut tidak memerintahkan kemaksiatan
kepada Allah SWT. Kaum muslim juga diperintahkan untuk mengembalikan semua
urusan dan perselisihan kepada al-Quran dan as-Sunnah yang merupakan
konsekuensi dari keimanan. Itu adalah sikap yang paling baik karena hukum Allah
SWT dan Rasul-Nya pastilah hukum terbaik, paling adil dan paling layak bagi manusia
baik terkait urusan agama maupun dunia.
Mengembalikan semua urusan dan persoalan kepada Allah
SWT dan Rasul-Nya adalah kewajiban kaum mukmin. Artinya, al-Quran dan as-Sunnah
wajib dijadikan rujukan kehidupan. Konsekuensinya, semua urusan kehidupan wajib
diatur dengan syariah Islam. Apalagi urusan perundang-undangan yang mengatur
kehidupan banyak orang. Tidak ada yang lebih baik dari syariah Islam. Sebab
syariah Islam berasal dari Allah SWT, pencipta manusia. Pencipta pasti lebih
hebat dan lebih tahu daripada yang dicipta. Apalagi sebagai pencipta, Allah SWT
tidak punya kepentingan apapun dengan syariah-Nya selain demi kemaslahatan
manusia. Berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering dipengaruhi oleh hawa
nafsu dan kepentingan.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.