oleh: Nur Khasanah
Saat ini banyak kita jumpai demonstrasi
untuk menolak Undang-undang ciptaker yang baru saja disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Berbagai penolakan yang terjadi di ibu kota dan
daerah-daerah didominasi oleh mahasiswa dan para buruh. Penolakan ini dipicu
oleh beberapa pasal yang dinilai merugikan para buruh dan lepas tangannya
negara dalam memelihara rakyatnya. Selain itu, dengan adanya UU Ciptaker ini
akan mempermudah masuknya infestor asing dan dikuasainya sektor-sektor
strategis oleh swasta. Hal ini tentu saja tidak hanya merugikan masyarakat tapi
juga merugikan negara. Anehnya, RUU yang sejak awal menuai pro kontra dan
bahkan banyak kritikan ini tetap disahkan bahkan pada dini hari. Ditambah lagi
undang-undang tersebut disahkan di saat pandemi yang belum mereda. Tidak hanya
sampai di sini saja. Setelah pengesahan undang-undang ini pun para anggota
dewan bahkan sampai presiden dinilai langsung lepas tangan. Cuti satu bulan
langsung diberlakukan, bahkan saat pendemo mendatangi istana, presiden pun tidak
ada di tempat.
Jika diingat-ingat, bukan hanya kali ini
saja rakyat Indonesia di buat kecewa oleh para pengambil kebijakan. Sebagai
contoh lain, di awal adanya wabah covid 19, alih-alih mencari solusi agar virus
tersebut tidak sampai masuk Indonesia, para petinggi malah menjadikan virus ini
sebagai ajang guyonan. Dampaknya pun bisa kita rasakan sampai saat ini.
Kebijakan-kebijakan yang diambil pun dirasa kurang tepat dan hanya
menguntungkan beberapa pihak tapi justru merugikan masyarakat.
Sebenarnya apa yang terjadi di negeri ini?
Bukankah seharusnya wakil rakyat bersuara sesuai dengan aspirasi rakyat?
Faktanya justru banyak masyarakat yang protes. Bukankah seharusnya kepala
negara melindungi rakyatnya? Faktanya banyak rakyat kecil yang merasa terabaikan.
Inilah sedikit wajah asli dari demokrasi.
Jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tak lebih dari sekedar jargon.
Demokrasi diklaim sebagai sistem terbaik, sistem yang menjanjikan kemakmuran,
sekesejahteraan, kesetaraan dan keadilan tenyata tak lebih dari sekedar
doktrin. Faktanya terlihat jelas dihadapan kita dimana diskriminasi menjadi hal
yang lumrah, kesejahteraan menjadi sesuatu yang mahal, keadilan pun hanya
diperuntukkan bagi yang mampu. Bahkan hal ini sudah nampak jelas di depan pelupuk
mata bagi orang yang mau berfikir. Sudah berkali-kali kita dibohongi dengan
wajah manis pemilu, sudah tak terhitung berapa kali kita terbuai dengan
janji-janji para calon wakil rakyat, wajah-wajah yang dari awal telah dipoles
untuk mengambil simpati hati masyarakat terpampang di sepanjang jalan.
Sedangkan yang terjadi pasca pemilihan, pemodal adalah yang utama, diri sendiri
harus nyaman di singgasana, sedang rakyat harus terlunta-lunta. Hal ini karena
demokrasi yang berasaskan pada pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) memang
sudah cacat dari awal.
Tak cukupkah semua itu untuk membuat kita
merasa jera?
Sedangkan selain demokrasi, ada sebuah
sistem tatanan negara yang bahkan telah terbukti hampir 13 abad telah berhasil
mensejahterakan masyarakatnya. Bahkan dampak dari tatanan sistem tersebut pun
masih dapat dirasakan hingga sekarang. Yah, sistem tersebut tak lain dan tak
bukan adalah sistem Islam di bawah naungan khilafah. Dimana dasar dari sistem
tersebut adalah ketaqwaan pada Allah SWT.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka
kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah [5]: 50).
Karena itu, sebuah pilihan yang cerdas
untuk memilih sistem Islam sebagai sebuah solusi untuk berbagai permasalahan
yang menimpa negeri dan mengakhiri eksistensi demokrasi yang pada dasarnya
hanya menjerumuskan rakyat ke jurang keputusan asaan.
Wallahu’alam