Oleh: Drg Endartini Kusumastuti
(Pemerhati Sosial Masyarakat Kota Kendari)
Malam minggu menjadi malam yang sendu bagi rakyat negeri ini. DPR akhirnya mensahkan UU Omnibuslaw yang menyimpan berbagai polemik di masyarakat.
Sejak naskah akademik dan draf RUU Ciptaker diserahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada DPR pada Februari 2020, gelombang protes terus bergulir. Meski mendapat banyak protes dan penolakan dari masyarakat luas, RUU Ciptaker berhasil rampung dan ditetapkan menjadi UU hanya dalam waktu sekitar delapan bulan.
Kebutuhan menciptakan iklim yang menguntungkan asing itulah yang mendasari pemerintah segera menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja dengan DPR. Kabarnya, 143 perusahaan AS, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Jepang, dan Cina tengah berencana merelokasi investasi ke Indonesia. Dengan disahkannya RUU ini, UU Omnibus Law Cipta Kerja akan meringkas 1.244 pasal dari 79 undang-undang untuk menarik investasi asing. UU ini bertujuan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran.
Suara-suara perlawanan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja juga bergema di dunia maya, termasuk di platform media sosial Twitter. Dua hari setelah UU CiptaKerja, suara-suara perlawanan masih muncul di linimasa Twitter.
Seperti yang telah diketahui, UU ini berisikan pasal-pasal yang kontradiktif dengan kehendak rakyat. Mulai dari masalah ketenagakerjaan, perpajakan, lingkungan hidup, Pendidikan pesantren, hingga pelaku usaha online, Semuanya tidak ada keberpihakan pada masyarakat. Alih-alih mencari pencitraan diri, justru langkah ini makin membuktikan bahwa pemerintah telah kehilangan empati terhadap rakyat. Banyak pasal yang kontroversial, namun tak menyurutkan langkah anggota DPR untuk ketok palu.
Sungguh sangat disayangkan upaya legislasi Omnibuslaw CiptaKerja ini. Semestinya, pemerintah fokus pada penyelesaian masalah kesehatan akibat Covid-19 dan masalah-masalah yang terkait dengannya, Seperti gelombang PHK yang masih mengintai karena resesi ekonomi.
Mencermati secara lebih dalam berbagai persoalan masyarakat yang ada, Maka masalah tersebut berpangkal dari persoalan pokok upaya pemenuhan kebutuhan hidup serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Kedua hal ini masih jauh dari peran pemerintah sebagai pelayan dan pelindung rakyat.
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam diterapkan Khilafah melalui berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai dengan jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai kemampuan yang dimiliki.
Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah SWT telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat, dan negara. Kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang, dan papan, serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) secara menyeluruh, baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang, negara menjamin dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Wallaahu a'lam.