Oleh : Ummu Kayyisa Al Mahira
Di tengah pandemi yang tak kunjung usai pemerintah memberi kado pahit bagi rakyat yaitu disahkannya UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan menjadi UU Ciptaker pada Senin (5/10/2020) dalam sidang paripurna DPR.
Total anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna hanya 318 dari 575 anggota baik secara fisik maupun virtual. RUU Ciptaker yang terdiri atas 15 bab dan 174 pasal disusun dengan metode omnibus law atau omnibus bill akan berdampak terhadap 1.203 pasal dari 79 UU yang terkait dan terbagi dalam 7.197 daftar inventarisasi masalah.
Rapat pengesahan RUU Cipta Kerja digelar langsung di Gedung DPR dengan setengah anggota dewan hadir sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan. Sebagian lain mengikuti rapat secara daring. Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker.
Pengesahan UU Ciptaker ini menuai banyak kritik dan memicu arus gelombang protes besar-besaran dikalangan buruh dan mahasiswa. Hal ini disebabkan karena UU Ciptaker sangat merugikan rakyat dan menguntungkan pihak oligarkhi.
Beberapa point UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dianggap bermasalah bagi pekerja diantaranya uang pesangon dihilangkan, UMP, UMK, UMSP dihapus, upah buruh dihitung per jam, semua hak cuti (cuti sakit, cuti kawinan, khitanan atau cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan) hilang dan tidak ada kompensasi.
Point selanjutnya outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup, tidak akan ada status karyawan tetap, perusahaan bisa memPHK kapanpun secara sepihak, jaminan sosial, dan kesejahteraan lainnya hilang, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, tenaga kasir asing bebas masuk, buruh dilarang protes, ancamannya PHK, libur hari raya hanya pada tanggal merah, tidak ada penambahan cuti, istirahat di hari Jumat cukup 1 jam termasuk shalat Jumat.
Menurut Ust Yuana ada enam dharar/ bahaya yang terkandung dalam UU Ciptaker yaitu Pertama, kezaliman membuat hukum, yaitu menempatkan manusia sebagai hakim yang menetapkan hukum yang berkaitan dengan masalah tasyri’. Padahal yang berwenang menetapkan hukum adalah musyar'i yaitu Allah SWT.
Kedua, memberikan jalan kemudahan kepada para kapitalis/pemodal asing menguasai kaum muslimin. Ketiga, makin lemahnya peran negara sebagai institusi yang menegakkan hukum dan memelihara rakyatnya.
Keempat, membuka jalan dikuasainya sektor-sektor strategis oleh swasta. Kelima, menyengsarakan dan menyulitkan rakyat kecil. Dan keenam, menimbulkan kerusakan lingkungan.
Maka semakin jelas kehidupan sekuler yang diterapkan hari ini membawa kerusakan, ketimpangan dan kesengsaraan baik bagi manusia maupun lingkungan. Hukum yang dibuat oleh manusia terbukti menimbulkan dharar atau bahaya, dan hukum dari Sang pencipta yang akan membawa kemaslahatan bagi semuanya.
Hukum yang menimbulkan bahaya ini harus segera dicampakan dibuang ke tong sampah peradaban. Kemudian diganti dengan hukum Islam yang berasal dari Rabb sekalian alam yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Hukum Islam ini bisa diterapkan secara keseluruhan/ kaffah jika diterapkan sistem Islam di tengah kehidupan.
Wallohuallam bishowwab.
Tags
Opini