UU Cipta Kerja, Untuk Siapa?



Penulis : NurFitri,S.sos

Keinginan Presiden Joko Widodo untuk memiliki undang-undang berukuran besar yang menyederhanakan regulasi terkait investasi akhirnya terwujud. Keinginan ini muncul dalam pidato perdana periode kedua jabatannya.
Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan omnibus law Rancangan undang-Undang RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Namun, langkah pemerintah dan DPR ini menuai kecaman dari beragam kelompok masyarakat sipil. Dari serikat pekerja, buruh, hingga akademisi.
Pasalnya, klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja dinilai telah mengebiri hak pekerja dan cenderung berpihak pada kepentingan pengusaha.
Sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi UU, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerindra, Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sedangkan dua fraksi lainnya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak RUU tersebut. Bahkan, anggota fraksi Demokrat Benny K. Harman walk out atau keluar dari ruang sidang paripurna.

Dalam Islam, akad ijarah (perburuhan) ada beberapa rukun yang wajib diperhatikan: (1) dua pihak yang berakad, yakni buruh dan majikan/perusahaan; (2) ijab-kabul dari dua belah pihak, yakni buruh sebagai pemberi jasa dan majikan/perusahaan sebagai penerima manfaat/jasa; (3) upah tertentu dari pihak majikan/perusahaan (4); jasa/manfaat tertentu dari pihak buruh/pekerja.

Semua jasa yang halal dalam Islam boleh di-ijarah-kan. Misal: jasa dalam industri makanan, garmen, otomotif, konsultan, pendidikan, dsb.

Akad yang telah disepakati wajib dilaksanakan oleh kedua pihak yang berakad. Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُو

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (TQS al-Maidah [5]: 1).

Buruh/pekerja wajib memberikan jasa sebagaimana yang disepakati bersama dengan pihak majikan/perusahaan. Ia pun terikat dengan jam/hari kerja maupun jenis pekerjaannya. Sebaliknya, sejak awal majikan/perusahaan wajib menjelaskan kepada calon pekerja/buruh tentang jenis pekerjaannya, waktu kerjanya, serta besaran upah dan hak-hak mereka. Nabi saw. bersabda,

مَن اِسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ

Siapa saja yang mempekerjakan seorang buruh hendaklah ia memberitahukan upahnya kepada buruh tersebut. (HR Abdur Razaq dan Ibnu Abi Syaibah).

Majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah buruh. Rasulullah saw. bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering. (HR Ibnu Majah).

Islam Melindungi Kaum Buruh
Syariat Islam memberikan perlindungan kepada kaum buruh dengan mengingatkan para majikan/perusahaan sejumlah hal:

Pertama, perusahaan harus menjelaskan kepada calon pekerja jenis pekerjaan, waktu/durasi pekerjaan serta besaran upahnya. Mempekerjakan pekerja tanpa kejelasan semua itu merupakan kefasadan.

Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah. Cara inilah yang dipakai sistem Kapitalisme di seluruh dunia. Dibuatlah standar upah minimum daerah kota/kabupaten atau propinsi. Akibatnya, kaum buruh hidup dalam keadaan minim atau pas-pasan.

Pasalnya, gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja. Seberapa keras mereka bekerja tetap saja mereka tidak bisa melampaui standar hidup masyarakat karena besaran upahnya diukur dengan cara seperti itu.

Dalam Islam, besaran upah mesti sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempat bekerja. Tidak dikaitkan dengan standar hidup mininum masyarakat. Pekerja yang profesional/mahir di bidangnya wajar mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan pekerja pemula.

Meski pekerjaan dan kemampuan sama, tetapi waktu dan tempat bekerja berbeda, berbeda pula upah yang diberikan. Misal: tukang gali sumur yang bekerja di lapisan tanah yang keras semestinya mendapatkan upah lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan serupa di tanah yang lunak.

Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. Majikan/perusahaan haram  mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. Semua ini termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda:

قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Allah telah berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada Hari Kiamat: seseorang yang berjanji atas nama-Ku kemudian ingkar; seseorang yang menjual orang merdeka kemudian menikmati hasilnya; seseorang yang memperkerjakan buruh dan buruh tersebut telah menyempurnakan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).

Menunda pembayaran upah/gaji pegawai, padahal mampu, termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi saw.,

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

Orang yang menunda kewajiban itu halal kehormatannya dan pantas mendapatkan hukuman. (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil sesuai dengan ketentuan 
Acapkali dengan dukungan negara, para pengusaha kapitalis berusaha sekuat tenaga menekan gaji pegawai agar mereka mendapat keuntungan maksimal. Sebaliknya, mereka berusaha mengeksploitasi tenaga para buruh untuk meningkatkan produksi demi keuntungan perusahaan. Praktik-praktik seperti itu sudah lazim di negara-negara kapitalis.

Para pengusaha kapitalis yang rakus akan membuka usaha di negara-negara berkembang yang memiliki bahan baku murah dan tenaga kerja yang juga bisa dibayar semurah-murahnya. Warga yang membutuhkan pekerjaan akhirnya terpaksa menerima tawaran upah yang murah karena kebutuhan nafkah. Akibatnya, terjadilah kesenjangan sosial yang amat dalam. Para pengusaha kaya-raya, sedangkan buruh menderita.

Padahal untuk kawasan Asia Tenggara, upah pekerja Indonesia (95 US$) lebih kecil dibandingkan Filipina (142 US$), Laos (140 US$) dan Kamboja (166 US$). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rata-rata upah buruh pada Februari 2020 sebesar Rp 2,92 juta perbulan. Jumlah itu tentu jauh dari pemenuhan kebutuhan pokok minimum di Tanah Air. Jika UU Omnibus Law Cipta Kerja benar merugikan buruh, akan semakin terpuruklah nasib mereka di Tanah Air.

Inilah bedanya dengan negara dalam Islam. Khilafah Islam hadir untuk mengurusi dan melindungi kepentingan semua anggota masyarakat, baik pengusaha maupun pekerja. Nabi saw. bersabda,

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak