Oleh : Lilik Yani (Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)
Sebagai muslim, halal haram suatu produk sangat membutuhkan kejelasan. Apalagi adanya produk asing yang beredar bebas dalam negeri. Agar ada ketenangan dalam memilih produk yang dibutuhkan. Masalahnya standar apa yang dipergunakan halal haram suatu produk? Siapa yang berhak memutuskan bahwa suatu produk itu halal? Bolehkah jika berbagai organisasi menetapkan sertifikasi halal?
Jika sertifikasi halal bisa dikeluarkan oleh organisasi lain tanpa fatwa MUI maka berarti ada kemudahan. Dengan demikian bisa memangkas waktu hingga sertifikat cepat keluar demi segera berproduksi dan memasarkan produknya.
Bisnis.com, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Teten Masduki mengklaim bahwa sertifikasi halal gratis untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) disambut positif.Berdasarkan data yang dia terima, sebanyak 60 persen UMKM adalah makanan dan minuman. Kementeriannya bakal mengembangkan lebih jauh inisiatif untuk program jaminan produk halal.
“Catatan kami selama 2015 sampai 2019, dalam memfasilitasi sertifikasi halal terhadap UMKM, hasil surveinya menggembirakan. Ketika mendapatkan sertifikasi halal, omsetnya naik rata-rata 8,53 persen,” katanya melalui sambutan virtual, Selasa (20/10/2020).
Dilansir dari SindoNews.com,
RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) rencananya segera rampung dalam waktu dekat. Undang-Undang (UU) ini akan memberikan berbagai kemudahan kepada masyarakat. Selain memberikan penyederhanaan dan percepatan proses perizinan usaha di Indonesia, peraturan perundangan ini juga memperluas lapangan kerja.
Berdasarkan Omnibus Law ini, pemberian sertifikasi halal dapat dilakukan oleh Ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri. Pelaku usaha berskala kecil juga mendapatkan kemudahan dengan pembebasan biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Ini karena sertifikasi UMKM akan ditanggung oleh pemerintah (Jumat, 2 Oktober 2020)
Dilansar dari KBRN, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mengubah sistem penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Kamis, 14/10/2020
Rasanya sungguh aneh, masalah hukum agama tentang halal haram dimudahkan. Apakah tidak menimbulkan kekhawatiran bagi umat Islam yang ingin menjalankan ketaatan? Karena produk-produk yang beredar di pasaran kurang meyakinkan sertifikasi halalnya.
Jika sebelumnya pemerintah menunjuk MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang memiliki kredibilitas untuk diberi wewenang untuk menentukan sertifikasi halal.
Yang pastinya melalui proses panjang untuk pemeriksaan bahan dan segala macamnya. Namun sekarang dengan adanya UU Cipta kerja, maka proses sertifikasi diberi kemudahan. Pelaksana sertifikasi produk halal bisa dilakukan oleh BPJH.
Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.
"Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi," kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).
"Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku," tambahnya.
Sementara Undang-Undang (UU) Cipta Kerja akan memberikan berbagai kemudahan kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah akan memberikan penyederhanaan dan percepatan proses perizinan usaha di Indonesia. Diharapkan bisa memperluas lapangan kerja.
Maka dari itu dalam Omnibus Law ini, pemberian sertifikasi halal dapat dilakukan oleh Ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri yang kompeten.
Sementara PBNU dan Muhammadiyah juga mendukung desentralisasi sertifikasi halal, atau desentralisasi penetapan kehalalan suatu produk. Tetapi, penetapan halal itu dilakukan oleh lembaga-lembaga kredibel, yang kiprahnya sudah terbukti dan mempunyai kapasitas mengeluarkan pendapat keagamaan.
Jika demikian yang terjadi, apakah tidak menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Apakah hal itu tidak membuka peluang adanya ketidakpastian hukum? Ada kemungkinan umat menjadi ragu terhadap produk yang beredar karena tidak semua mendapat sertifikasi halal dari MUI seperti dulu.
Jika dulu saat wewenang penentuan sertifikasi halal dilakukan oleh MUI saja, masih ada yang meragukan. Apalagi jika sekarang dilakukan banyak pihak atau desentralisasi?
Demikianlah jika sistem yang diterapkan dalam suatu negeri adalah sistem kapitalisme. Azas yang dipakai adalah manfaat.
Maka segala sesuatu dilihat dari sisi manfaat yang akan diperoleh jika kebijakan itu diterapkan.
Jika sertifikasi halal yang biasanya melalui proses panjang dengan pemeriksaan-pemeriksaan detail. Namun dengan UU Cipta kerja, proses sertifikasi halal disederhanakan dan dilakukan percepatan. Dengan demikian sangat jelas tujuannya azas manfaat. Mendapatkan keuntungan yang banyak dan segera didapatkan.
Adanya penyederhanaan dan percepatan otomatis akan meningkatkan omset, yang berarti mempercepat keuntungan dan menghemat biaya yang harus dikeluarkan untuk sertifikasi halal. Siapa yang diuntungkan? Para kapitalis, pemilik modal baik asing maupun swasta.
Penyederhanaan dan percepatan hukum dilakukan tanpa memperhitungkan umat yang mayoritas muslim di negeri ini. Dimana umat muslim pasti akan mencari produk yang ada sertifikasi halal. Jika ternyata sertifikasi yang dibuat meragukan, karena tidak meyertakan fatwa halal dari MUI.
Maka yang terjadi adalah umat dalam keraguan.
Apalagi ada banyak produk asing yang bertebaran di berbagai tempat pembelanjaan dalam negeri. Produk-produk tersebut membaur dengan produk dalam negeri. Maka umat muslim akan bingung membedakan. Jika tidak jeli, karena terburu-buru, bisa saja langsung ambil tanpa mengecek kandungan bahan dari produk yang dibeli.
Untuk itulah perlunya ada pemimpin adil peduli umat yang akan memperhatikan apa saja kebutuhan umat. Memastikan kehalalan produk yang akan dikonsumsi. Karena akan menjadi dosa jika ada produk haram masuk dalam tubuh umat muslim.
Selain dosa yang ditanggung, juga doa umat yang mengkonsumsi produk haram akan ditunda pengabulannya. Bukankah hal ini sangat merugikan umat muslim? Atau memang disengaja terjadi demikian agar Islam tidak menang. Islam bisa direndahkan, dikalahkan, didzalimi, dan Islam tak bisa menguasai dunia.
PR besar untuk pengemban dakwah. Itu sudah menjadi masalah sistemik. Masalah halal haram makanan harus ditentukan oleh negara yang menunjuk badan berwewenang dengan disertai fatwa MUI. Ini bukan masalah yang sederhana, barang habis pakai. Namun ini menyangkut masalah makanan yang masuk dalam tubuh.
Dimana akan mempengaruhi doa, sikap, yang akan menentukan tindakan selanjutnya. Jika dalam tubuh muslim ada barang haram maka tidak dikabulkan dan ibadah tidak diterima Allah.
Rasulullah berkata, “Wahai Saad perbaikilah makananmu maka engkau akan menjadi orang yang dikabulkan doanya. Demi Zat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh seorang hamba yang memakan sesuap makanan haram dalam perutnya maka tidak akan diterima amal ibadahnya selama empat puluh hari, dan siapa saja yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan tidak halal dan hasil riba maka neraka lebih pantas untuknya.” (HR. Thabrani)
Jika demikian adanya, masihkah berani mempermudah atau mempercepat sertifikasi halal hanya karena ingin omset atau keinginan meningkat?
Wallahu a'lam bish shawwab
Surabaya, 25 Oktober 2020
Tags
Opini