Oleh:
Ryza
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
menjadi Undang-Undang oleh DPR pada hari Senin(5/10/2020)lalu,mendapat sorotan
dari banyak pihak.Pembahasan UU ini berjalan sangat singkat ,karena
pengesahannya hanya memakan waktu enam bulan jika dihitung sejak dimulainya
masa pembahasan RUU ini.Dikebutnya pembahasan RUU ini di akui oleh Ketua Badan
Legalisir DPR Supratman Andi Agtas.Ia mengatakan DPR sengaja bekerja 7x24 jam
hingga menggunakan waktu reses untuk merampungkan pembahasan RUU ini.Awalnya
Presiden Jokowi mengajak DPR untuk membuat dua Undang-Undang besar saat
berpidato."Pertama,Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.Kedua,Undang-Undang
pemberdayaan UMKM,pada 20 Oktober 2019 lalu.
Pada saat disahkannya UU Cipta Kerja Omnibus Law ini butuh dan mahasiswa
kompak menolaknya,dikarenakan isi dari UU Cipta Kerja merugikan kaum buruh
contohnya upah minimum penuh syarat,pesangon berkurang,kontrak kerja tanpa
batas waktu ,out sourcing seumur hidup,baru dapat kompensasi minimal 1
tahun,waktu kerja yang berlebihan,dan hingga hak upah cuti yang hilang.Mogok
dan demonstrasi berlangsung diberbagai tempat demi menyuarakan penolakan
terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Isi pasal-pasall Omnibus Law UU Ciptaker
ini pula dapat mengancam lingkungan hidup karena menghapus,mengubah,dan
menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah
pusat.Pemerintah daerah tidak dapat lagi mengeluarkan rekomendasi izin
apapun.Hal ini tercantum dalam pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis
mengenai dampak lingkungan AMDAL menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup
oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.Hal ini bertolak belakang
dengan UU sebelumnya.Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang menyebutkan dokumen
AMDAL dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL yang dibentuk oleh
menteri,gubernur,atau Bupati/walikota sesuai kewenangan.Jika tidak ada
izin,maka rekomendasi AMDAL tak akan terbit.
Perubahan ini juga mendapat kritikan dari sejumlah pegiat
lingkungan,Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulailah
berpendapat keberadaan Amdal yang dilemahkan menjadi ancaman bagi kelestarian
alam.Masyarakat pun tak dapat lagi mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL
dalam aturan baru tersebut.Dan ini terjadi di tengah masyarakat yang masih
berjuang melawan krisis kesehatan dan Ekonomi akibat pandemi Covid-19.UU Cipta
Kerja justru mengurangi dan menghilangkan partisipasi publik dalam ruang
perizinan dan peradilan.
Adapun ketentuan dalam pasal 40
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 mengenai izin lingkungan dihapus dalam UU
Cipta Kerja.Hal ini dapat merusak lingkungan hidup,karena tidak adanya larangan
apakah pengusaha dalam menjalankannya usahanya tersebut dapat merusak
lingkungan hidup atau tidak.
Para investor juga merasa khawatir dengan UU Cipta Kerja ini karena
berpotensi merugikan aspek lingkungan,sosial,dan tata kelola apabila
diterapkan,maka para investor global bertanda tangan untuk menyatakan
keprihatinan atas usulan deregulasi perlindungan lingkungan dalam UU Cipta
Kerja ",demikian isi surat salinan diterima oleh
Data-data.co.id.selasa(6/10).
Pakar hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada(UGM)Totok Dwi
Widiantoro juga menilai UU Cipta Kerja mengeksploitasi sumber daya negara,baik
alam dan manusia.Ini berbeda dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup,bahwa setiap usaha atau kegiatan wajib
memiliki Amdal atau UKL-UPL(Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup)izin
lingkungan.Tingkat bahayanya dapat dilihat dari aspek
kesehatan,keselamatan,lingkungan,pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya,serta
risiko volatilitas.
Tanggapan lainnya ditanggapi lain oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
kehutanan Siti Nurbaya Bakar menjawab tentang 30 persen kawasa hutan hilang
dalam Omnibus Law.Menurutnya,dalam Omnibus Law,angka 30 persen hilang dan
pengaturan diserahkan kepada pemerintah pusat di tingkat yang lebih rendah dari
UU,yaitu peraturan pemerintah(PP)."Pemerintah pusat mengatur luas kawasan
yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan /atau
pulau",demikian beleid ini di pasal 18 ayat 2 ini diganti dalam Pasal 36
Omnibus Law.
Dapat kita lihat dari sistem demokrasi ini bukan hanya manusia tetapi
lingkungan hidup juga turut dirusak,dan dalam sistem demokrasi ini pula pihak
kalangan atas semakin diuntungkan,berbalik halnya dengan kalangan bawah.Karena
sistem aturan/UU buatan manusia dapat dirubah seiring berjalannya waktu dan
keadaan,Berbeda halnya dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah yang
peraturannya diambil melalui Al-Qur'an dan As-sunnah maupun Qiyas.Peraturan Islam bersifat adil terhadap
semua kalangan dan menjaga sumber daya alam"Para pemimpin(Khalifah)
memberikan keamanan kepada manusia lainnya hingga batas yang luar biasa
besarnya bagi kehidupan dan usahanya untuk masyarakatnya.Para pemimpin dalam
Khilafah juga telah menyediakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam hampir
1300 tahun lamanya.
Adapun kebaikan dalam menerapkan UU Islam ialah:
-Kebaikan untuk pendidikan dan Ilmu pengetahuan dunia
-Kebaikan untuk keamanan dunia
-Kebaikan untuk Muslim ataupun non muslim
-Kebaikan untuk Ekonomi dan Kesejahteraan
dunia
-Kebaikan dalam menjalankannya agama sesuai
dengan hukum Syara'
-Dan masih banyak yang lainnya