Undang-undang Omnibus Law Mengusik Sertifikasi Halal-Haram



Oleh : Amallia Fitriani


RUU Omnibus Law yang telah menuai banyak penolakan dari berbagi pihak akhirnya disahkan oleh DPR. Pemerintah beranggapan bahwa pengesahan UU ini akan memberikan banyak kemudahan kepada masyarakat. 

Selain memberikan penyederhanaan dan percepatan proses perizinan usaha di Indonesia, peraturan perundangan ini juga memperluas Lembaga Pemeriksa Halal. Kebijakan ini diatur dalam pasal 35 A ayat 2 Omnibus Law. Didalamnya dijelaskan bahwa apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan atau menetapkan fatwa maka BPJPH dapat langsung memberikan sertifikat halal.

Alasan pemerintah memuluskan pasal ini tidak lain demi kelancaran UMKM untuk mendapatkan sertifikasi BPOM dan sertifikasi halal. Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki menilai UU Omnibus dapat mempermudah UMKM untuk mengembangkan produknya tanpa dibebankan dengan sertifikasi halal lagi. Intinya jangan dibuat ruwet proses sertifikasi halal suatu produk. (nasional.kompas.com, 18/2/2020)

Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif bahwa sertifikat halal dapat diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.

"Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tahu seluk beluk sertifikasi," kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).

"Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku," tambahnya. (rri.co.id, 14/10/2020). 
Dengan adanya kebijakan seperti ini, justru akan memudahkan bagi siapa saja untuk bisa memberikan stempel halal pada produknya atau self declare (deklarasi mandiri). 

Dengan melihat isi UU Ciptaker, ternyata  tercium aroma sekulerisasi, liberalisasi  dan kapitalisasi di dalamnya.  Disebut sekulerisasi karena aturan ini memperlihatkan adanya pemisahan agama dari kehidupan dan pemisahan agama dari negara. Menjauhkan peran syariat Islam dalam menentukan standar halal suatu produk. Agar standar tersebut diganti dengan standar akal manusia dan kepentingan. Sekulerisasi semakin dipertegas  dengan kebolehan tidak melibatkan peran MUI dalam penetapan status halal.

Disebut liberalisasi karena banyak pihak yang diperbolehkan menentukan kehalalan produk. Sedangkan tidak ada jaminan pihak tersebut akan menjadikan syariat Islam sebagai penentu halal dan haram. Seharusnya jaminan halal ini adalah tanggung jawab negara. UU ini akan membuat penguasa berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut.

Selain itu kapitalisasi terlihat dari bagaimana menjadikan para pengusaha bermodal besar baik asing maupun aseng semakin leluasa. Ruang gerak mereka memasarkan produk di pasar muslim terbesar di dunia yaitu Indonesia makin luas. Cap sertifikat halal bisa mereka dapatkan dengan mudah karena tidak perlu lagi peran MUI. 

Jika ditelaah kembali hal Ini sejalan dengan proyek besar negara terkait dengan kawasan Industri Halal (KIH) yang sedang dijalankan oleh negara. Kawasan Industri Halal ini memudahkan para investor untuk berinvestasi.  Inilah watak sistem Demokrasi Kapitalistik yang hanya berorientasi kepada keuntungan semata. Dan lagi-lagi yang diuntungkan adalah para korporasi dan rakyat yang dirugikan. 

Fakta ini menunjukan bahwa negara abai dalam kepengurusan terhadap kebutuhan rakyatnya, terutama pada kepengurusan sistem kehalalan dalam sebuah produk. Peran ulama pun dalam sistem kapitalisme dibuat lumpuh. Padahal menurut Rasulullah saw, ulama bagaikan penerang. 

"Sesungguhnya perumpamaan Ulama di bumi ini adalah seperti bintang-bintang yang dijadikan petunjuk di dalam kegelapan-kegelapan darat dan lautan, apabila bintang-bintang ini sirna diantara kegelapan-kegelapan tadi maka sudah tentu para penunjuk jalan akan berhadapan dengan kesesatan jalan (HR. Muslim). 
Namun sistem saat ini menjadikan ulama hanya sebatas pemberi legalitas halal pada sebuah produk bukan untuk mengawasi setiap kebijakan negara. 

Kebijakan negara yang sesuai dengan syariat Islam hanya terdapat dalam Khilafah. Syariat Islam menjadikan perhatian utama kebijakan adalah kesesuaian dengan syariat dan berikutnya kemaslahatan publik. Sistem penetapan halal dan haram pada sebuah produk adalah hal yang sangat penting karena ini menyangkut kehidupan kaum muslimin. 

Khilafah akan menjamin kehalalan dalam sebuah produk baik dari segi bahan sampai pada pembuatan dan penyalurannya karena negara adalah pelayan bagi rakyat sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw. "Imam ( Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusan rakyatnya". (HR. Bukhori)
Wallahu'alam bishowwab 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak