Oleh: Krisdianti Nurayu Wulandari*
Ujian nasional resmi dihapuskan. Sebagai gantinya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menerapkan asesmen nasional pada 2021 mendatang. Asesmen nasional tidak hanya sebagai pengganti ujian nasional dan ujian sekolah berstandar nasional, tetapi juga sebagai penanda perubahan paradigama tentang evaluasi pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengatakan bahwa asesmen nasional tidak hany mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, tetapi juga mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil. (dikutip dari kompas.com 11/10/20)
Pada rapat dengan Komisi X DPR RI secara online 24 Maret 2020, Nadiem mengungkapkan dua alasan dihapuskannya UN tahun depan. Pertama, menurutnya UN terlalu beresiko jika digelar di tengah pandemi corona yang sedang terjadi di Indonesia. Kedua, UN sudah tidak lagi sebagai syarat kelulusan ataupun syarat seleksi masuk ke perguruan tinggi. Oleh karena itu, apabila UN dihapus tidak terlalu berdampak terhadap pendidikan di Indonesia.
Perubahan metode evaluasi hingga perubahan kurikulum pendidikan dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini, sebenarnya membuktikan bahwa sistem pemerintahan demokrasi kapitalisme memang penuh kelemahan. Bagaimana tidak? Setidaknya sudah 11 kali kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami pergantian.
Namun, tidak juga membawa arah pendidikan di Indonesia lebih maju. Yang terjadi malah justru tenaga pendidik yang kelabakan akibat pergantian kurikulum ini. Dimana, mayoritas dari mereka belum paham betul teknis pelaksanaan dari kurikulum yang baru.
Bahkan para siswa pun seolah selalu dikorbankan. Guru bingung, murid bingung, orangtua murid pun bingung. Potret dunia pendidikan kita di negeri ini memang sudah nampak begitu bermasalah. Mulai dari tataran konsep hingga ke tataran teknis.
Begitu juga dengan persoalan yang menyangkut aksebilitas, ketersediaan sarana prasarana pendidikan, hingga ketersediaan tenaga pendidik yang berkualitas. Demikianlah yang akan terjadi pada dunia pendidikan di negeri kita, apabila pemerintah masih tetap saja menerapkan paradigma pendidikan sekuler.
Tidak ada yang bisa menjamin pendidikan kita dapat menghasilkan perubahan output pendidikan yang diharapkan oleh tiap orang. Meskipun sering dilakukannya perubahan kurikulum berkali-kali. Toh, yang menjadi persoalan utama disini adalah dari sistemnya. Akan tetap bermasalah selama sistemnya belum dirubah ke sistem yang benar.
Sistem yang benar tersebut adalah sistem Islam yang dinaungi oleh Daulah Khilafah. Karena mustahil jika suatu sistem tidak ada campur tangan dari negara. Sebagaimana sistem pendidikan sekuler yang pasti ada campur tangan dari negara yang menaunginya.
Pendidikan di dalam sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas pendidikan. Begitupun juga selanjutnya akidah Islam pun dijadikan sebagai asas pengambilan ilmu dan asas pembentukan kepribadian. Dari asas inilah yang nantinya akan diturunkan ke kurikulum pendidikan Islam.
Adapun untuk tujuan pendidikan dalam perspektif Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, handal dalam penguasaan tsaqafah Islam, menguasai berbagai ilmu terapan, dan ketrampilan yang tepat dan berdaya guna.
Begitu juga dengan penerapan kurikulum pendidikan Islam ini didukung penuh oleh negara dengan berbagai sarana dan prasarana penunjang termasuk para pendidik yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas mumpuni. Pun juga penghargaan terhadap para guru, ilmuan, dan peneliti negara menggaji mereka dalam jumlah yang besar.
Contohnya pada masa Umar bin Khattab yang menggaji pengajar anak-anak sebesar 15 dinar tiap bulan. Begitu juga dengan para peserta didik tanpa terkecuali yang akan disediakan fasilitas terbaik dan gratis oleh negara. Dan ini semua dapat terwujud apabila diterapkannya sistem Islam dalam naugan Daulah Khilafah ala Minhajin Nubuwwah. Wallaahu Aalam bi al-Shawaab
* Aktivis Mahasiswa
Ilustrasi Meu Redator
Tags
Opini