Oleh : Dina Eva
Aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja telah berlangsung di sejumlah daerah sejak 6 sampai 8 Oktober lalu. Kelompok buruh dan mahasiswa tak mengendurkan gelombang protes meskipun polisi bertindak represif pada aksi pekan lalu.
Demonstrasi masih berlanjut di sejumlah daerah, termasuk Jakarta. Berikut rentetan aksi yang berlangsung di sejumlah daerah :
Di ibu kota, ratusan massa yang tergabung Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menggelar aksi di sekitar Istana Jakarta. Massa buruh memadati kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Namun, massa tak bisa menuju depan Istana Negara karena aparat kepolisian menutup jalan dengan kawat berduri. Sejumlah kendaraan taktis (rantis) seperti Barracuda, water canon dan mobil pengurai massa milik Polri disiagakan.
Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban mengatakan pihaknya telah bersepakat dengan kepolisian dan tidak akan memaksa masuk untuk melakukan aksi di seberang Istana Kepresidenan.
Sementara itu di Bandung, ratusan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di depan Mapolrestabes Bandung, Senin (12/10) sore. Massa mahasiswa dari berbagai kampus itu menutup Jalan Merdeka, sehingga membuat lalu lintas dialihkan ke arah Jalan Wastukencana.
Perwakilan mahasiswa, Chairul menjelaskan aksi mahasiswa kali ini tak hanya memprotes substansi Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka turut meminta tanggung jawab polisi atas perusakan fasilitas kampus dan kekerasan.
Selain itu, aksi tersebut juga respons terhadap Polri yang melakukan tindakan represif menyerang kampus.
Tak ketinggalan di Semarang ratusan buruh di Semarang juga kembali turun ke jalan menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka mendatangi Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah.
Dalam aksi tersebut, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengajak buruh bernyanyi dangdut bersama di tengah aksi demo menolak Omnibus Law.
Ganjar lantas memahami aspirasi para buruh dalam menolak Omnibus Law. Meski demikian, Ganjar menyatakan belum dapat bersikap apa-apa ke Pemerintah Pusat karena pihaknya belum mendapatkan draf final dari RUU Cipta Kerja.
Kemudia di Ambon Demo menolak undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja kembali digelar di Jalan Sultan Hairun, Kota Ambon Maluku, Senin (12/10). Aksi diikuti massa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Pattimura, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon dan Himapel KKT.
Dalam aksi tersebut, massa membawa keranda yang ditempeli foto Ketua DPR Puan Maharani. Massa kemudian menurunkan keranda dan membakar keranda tersebut.
Demo masih akan kembali dilakukan sejumlah elemen masyarakat, Selasa (13/10). Salah satunya, digelar Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) NKRI di Jakarta. Terdapat tiga ormas besar tergabung dalam aliansi tersebut, yakni Persaudaraan Alumni (PA) 212, Front Pembela Islam (FPI), dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.
Selain itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal meminta pemerintah tak melarang buruh menggelar aksi tolak Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Ia mengatakan buruh akan tetap menggelar aksi menolak UU yang telah disahkan tersebut.
Dari banyak pasal yang dinilai bermasalah, terdapat tiga di antaranya yang mengancam kehidupan para pekerja jika aturan itu diberlakukan.
Pertama adalah tidak adanya batas waktu dan jenis pekerjaan dalam sistem kontrak yang menyebabkan para pekerja dapat dikontrak seumur hidup tanpa ada kewajiban mengangkat sebagai pegawai tetap.
Kedua, status kontrak itu akan berimplikasi pada hilangnya jaminan sosial dan kesejahteraan, seperti tunjangan hari raya, pensiun dan kesehatan.
Ketiga, dihapusnya upah minimum sektoral (provinsi dan kabupaten), dan adanya persyaratan dalam penerapan upah minimum kabupaten/kota, serta diwajibkannya penerapan upah minimum provinsi (UMP) yang nilainya jauh lebih rendah.
Bersumber dari sistem yang salah walhasil akan selalu menimbulkan kebijakan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia serta gagal berikan kesejahteraan bagi kelangsungan hidup rakyat.
Demokrasi yang memiliki jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat nyatanya semakin menunjukkan wajah aslinya. Dalam sistem ini kesejahteraan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki modal besar serta kekuasaan dengan cara menguras harta rakyat.
Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU disebut hanya menguntungkan pihak investor dan pekerja asing.
Hal itu disampaikan langsung oleh pengamat politik dari Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie. “Memang UU ini agak kontroversi. Paling diuntungkan justru investor dan pekerja asing. Omnibus Law soal Ketenagakerjaan memudahkan izin kerja tenaga asing,” kata Jerry, di Jakarta, Rabu (06/10/2020)
Lanjutnya Dalam Pasal 42 ayat 1, di mana tenaga asing hanya perlu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk bekerja di Indonesia, tanpa Visa Tinggal Terbatas (VITAS) dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) seperti diatur di beleid sebelumnya.
Mengenai status kerja kontrak, kata Jerry, perusahaan bisa membuat karyawannya sebagai pekerja kontrak seumur hidup sebagaimana tertuang dalam Pasal 61A.
Dalam pasal 61A ini, ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang memiliki hubungan kerjanya berakhir karena sudah jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.
Aturan tentang perjanjian itu dinilai akan merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan.
RUU Cipta Kerja juga menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja. Di Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU menyebutkan, istirahat mingguan hanya satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Kemudian, Pasal 88 C, (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
Sungguh hal itu sangat mendzolimi kaum pekerja di negeri ini, maka masyarakat yang turut serta menolak disahkannya RUU tersebut seharusnya tidak hanya menolak UU Cipta Kerja namun juga harus menolak sistem yang selama ini bercokol di negeri ini karena sistem ini lah akar dari permasalahan yang ada. Kemudian tidak menyurutkan perjuangan tetapi semakin bersemangat berjuang demi tegaknya sistem yang benar dan terbukti berhasil memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Sistem itu hanya ada dalam Islam, sistem Islam yang pernah diterapkan oleh Rasulullah SAW kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah mampu mengukir tinta kejayaan pada masanya. Dalam Islam negara memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya kepada rakyat dengan menjaga hak-hak mereka untuk selalu terpenuhi.
Syariat Islam memberikan perlindungan kepada kaum buruh dengan mengingatkan para majikan/perusahaan sejumlah hal:
Pertama, perusahaan harus menjelaskan kepada calon pekerja jenis pekerjaan, waktu/durasi pekerjaan serta besaran upahnya. Mempekerjakan pekerja tanpa kejelasan semua itu merupakan kefasadan.
Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah. Cara inilah yang dipakai sistem Kapitalisme di seluruh dunia. Dibuatlah standar upah minimum daerah kota/kabupaten atau propinsi. Akibatnya, kaum buruh hidup dalam keadaan minim atau pas-pasan.
Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. Majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah.