Oleh : Efa Tri
Yudiana
Tepat
senin 5 Oktober 2020, DPR secara resmi mengesahkan Rancangan Undang Undang
(RUU) Ciptakerja menjadi Undang Undang. Pengesahan RUU tersebut di hadiri
separuh dari anggota DPR dengan alasan menjaga protokol kesehatan, sedangkan
yang lain melalui daring.
Meski
ada dua fraksi yang tidak setuju dengan keputusan ini tapi RUU ini tetap di
sahkan pada malam hari bahkan maju 3 hari dari jadwal semula yakni 8 oktober
2020 menjadi lebih cepat pada 5 Oktober 2020.
Adapun
alasan salah satu anggota fraksi yang tidak setuju dan memilih untuk walk out
karena tidak di beri kesempatan menyampaikan pandangannya tentang RUU
Ciptakerja, yakni Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Haraman menilai bahwa
wakil ketua DPR Aziz Syamsuddin sudah sewenang wenang dalam memimpin forum,
karena tidak memberikan kesempatan kepada Anggota Fraksi Partai Demokrat untuk
menyampaikan pandangannya sehingga memilih mengambil sikap walkout. (Suara.
Com, 6 oktober 2020)
Keputusan
ini pun menuai kontroversi dari semua kalangan masyarakat bagaimana tidak
disaat masyarakat masih di kepung pandemi yang tidak tahu bagaimana ujungnya
tiba-tiba DPR memberi kejutan dengan mengesahkan RUU Ciptakerja.
Padahal
RUU ini sudah mendapat penolakan dari publik, tapi pemerintah tetap mendesak
segera mengesahkan RUU ini.
Untuk
kepentingan siapakah RUU ini di sah kan tentunya bukan untuk kebaikan bersama
tapi untuk kepentingan kaum kapitalis, karena poin demi poin dalam omnibus law
jelas tidak berpihak pada pekerja dimana kesejahteraan pekerja makin di
kurangi.
Sangat
bisa di mengerti jika pengesahan RUU ini manuai reaksi hebat dari semua
kalangan, dengan kesejahteraan para pekerja di kurangi tentunya akan menurun
pula pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Sungguh
miris ketika jeritan rakyat hanya untuk memenuhi kebutuhan perut saja
terabaikan.
Memang
sangat jauh berbeda bila kita menengok sistem islam, dalam sistem islam
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah tanggung jawab negara.
Sedangkan
pengusaha dan pekerja hanya ada ikatan pemakai jasa dan pelaku jasa, pengusaha
akan memberikan upah setara dengan jasa yang di berikan pekerja dan sesuai
dengan akad yang sudah di sepakati di awal, jadi pengusaha tidak menanggung
kebutuhan dasar pekerja seperti kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan
karena semua itu tanggung jawab negara.
Dan
apabila sampai terjadi kesalah pahaman antara pengusaha dan pekerja maka negara
menjadi penengah dan sepatutnya menyelesaikan sesuai tuntunan syariat islam.
Sudah
sepatutnya syariat islam di jadikan acuan untuk mewujudkan kesejahteraan yang
sesungguhnya.