Sok-sokan Lockdown, Terapkan Paradigma Salah





Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Bagaimana keadaannya jika pemimpin tertinggi sebuah negara selalu mengatakan sesuatu yang "Plin-plan"? Hari ini A besok B, orang Jawa bilang " Isuk dele sore tempe" , pagi kedelai sore sudah jadi tempe, bahkan perumpamaan itu faktanya lebih bergizi, memang begitulah proses kedelai menjadi tempe, setelah difermentasi semalaman maka jadilah tempe, makanan rakyat murah meriah namun bergizi tinggi.

Adalah Bapak Presiden kita Joko Widodo, yang mengatakan bahwa upaya Lockdown yang dilakukan di tingkat kota, kabupaten dan provinsi, bukan solusi tepat untuk menekan angka penyebaran virus atau Covid-19.

Pasalnya, menurut Jokowi, lockdown yang dilakukan di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dapat mengorbankan kehidupan masyarakat. "Tidak perlu sok-sokan akan me-lockdown provinsi, me-lockdown kota, atau me-lockdown kabupaten, karena akan mengorbankan kehidupan masyarakat," kata Jokowi dalam video yang diunggah di akun Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/10/2020).

Menurut Jokowi, pemerintah mempunyai strategi dalam menangani pandemi Covid-19. Yakni dengan mencari titik keseimbangan antara kepentingan kesehatan masyarakat dan kepentingan ekonomi. Untuk itu, sebagai gantinya dari lockdown provinsi, kota dan kabupaten, Jokowi lebih menekankan penerapan pembatasan sosial berskala mikro atau micro-lockdown ( kompastv.com, 04/10/2020)

Sudah barang tentu rakyat dan nitizen yang terhormat merasa bosan sekaligus jengkel dengan pernyataan yang demikian. Pasalnya, apa yang sudah diperbuat pemerintah selama tujuh bulan masa pandemi ini? Tidak ada lockdown , test dan tracing stagnan, masker, APD dan sembako gratis tak ada, banyak nakes yang meninggal dunia juga tak ada follow upnya. Apatah lagi transparansi data Covid, malah berita terbaru akan ada pengubahan diksi kematian akibat Corona dengan memisahkan mati akibat Corona dengan mati akibat penyakit penyerta.

Padahal faktanya memang ketika seseorang masuk rumah sakit dan divonis positif Corona, semakin bertambah parah ketika dia memiliki riwayat penyakit bawaan. Namun apakah ini bisa dijadikan alasan atau klaim bahwa nantinya angka kematian yang benar-benar akibat positif Corona semakin sedikit? Permainan angka atau data saja justru menunjukkan ketidak seriusan penguasa dalam menangani pandemi ini.

Selain tak ada lockdown , juga jika yang dimaksudkan adalah salah satu provinsi , yaitu provinsi DKI Jakarta melakukan PSBB , jelas itu bukan sekedar sok-sokan, tapi melakukan sesuai aturan pemerintah pusat PSBB. Kebijakan itu diambil adalah demi keselamatan jiwa warganya karena memang provinsi tersebut menjadi salah satu provinsi terbanyak pasien positif Coronanya.

Malah yang seharusnya ditunjukkan oleh pemerintah pusat bukan menentang bahkan seakan menunjukkan kebijakan pemimpin dibawahnya melakukan kesalahan. Lebih jauh lagi, pemerintah sendiri sudah mengetok palu sahnya UU karantina Kesehatan sebagai payung hukum nya. Jika sudah begini, siapa yang bisa terkatagori pengkianat?

Penyebaran Covid-19 yang kian memprihatinkan, bahkan hingga ada Khabar virus ini telah melakukan mutasi, lebih canggih dan penderita dengan gejala terbaru adalah hilang daya pencimannya. Mau tak mau memang butuh penggantian sistem penangananya, itu jika bisa dikatakan pemerintah punya, sebab jika melihat perkembangannya, bahkan setiap pejabat atau penguasa juga saling bertabrakan lisannya.

Lantas bagaimana seharusnya yang tepat untuk mengatasi pandemi ini? Pertama adalah samakan paradigma lockdown dan PSBB terlebih dahulu, kemudian meneliti apakah negara lain ada perubahan jika mereka menerapkan lockdown dan PSBB? Terakhir, kemana seharusnya arah kiblat yang tepat untuk menetapkan lockdown dan PSBB?

Sebuah laporan media Amerika “Newsweek” memicu reaksi besar di jagat maya khususnya medsos, di mana penulisnya, Dr. Craig Considine mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah “yang pertama” menyarankan karantina kesehatan (lockdown) dan kebersihan diri dalam kasus pandemi.

Dan memang, dunia Islam juga tak luput dari bencana wabah dan pandemi, namun mengapa mereka mampu bertahan dan bahkan tetap menjadi negara ula selama berabad-abad? Tentu karena mereka menetapi sesuatu yang dicontohkan Rasulullah seperti berikut “Jika kamu melihat bumi tempat wabah, maka jangan memasukinya. Jika kamu berada di sana, maka jangan keluar darinya."

Atau juga pada masa Umar bin Khatthab yang meminta masukan ‘Amru bin Ash, sarannya memisahkan interaksi. Maka, tak lama kemudian wabah itu selesai. Dalam kasus di Amwash, ‘Umar mendirikan pusat pengobatan di luar wilayah itu. Membawa mereka yang terinfeksi virus itu berobat di sana.

Dari kedua peristiwa diatas, negaralah yang menetapkan lockdown sebagai bagian dari ikhtiar mengeluarkan rakyat dari pandemi dan ini juga bukti adanya jaminan kesehatan bagi rakyatnya. Sebab konsekwensi lockdown atau PSBB adalah memenuhi kebutuhan rakyat totalitas. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pemerintah Indonesia tak mau ambil lockdown, sebab pemerintah memang tak hendak menanggung nafkah rakyat alias berlepas tangan. Alasan akan mengganggu perekonomian rakyat hanyalah alasan tanpa dalil.

Jika lockdownnya dilakukan dengan benar, yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, memisahkan mana yang sakit dan sehat, kemudian mengisolasi yang sakit dan membiarkan yang sehat tetap beraktifitas seperti semula tentu ekonomi akan tetap stabil. Hari ini justru, wilayah yang masih zona merah dipaksa untuk segera beralih ke zona hijau dan mendorongnya untuk segera berekonomi dengan menyuntikkan sejumlah dana kepada UMKM, ASN, keringanan pajak, keringanan BPJS dan lain-lain adalah kebijakan yang keliru. Ibarat orang sakit, belum sembuh benar sudah diminta bekerja, ya pasti akan jatuh sakit lagi.

Maka, hal ini butuh sinergi yang kuat antara rakyat dengan penguasa agar bisa terwujud pemikiran yang sama, bahwa keluar dari pandemi adalah kepentingan bersama. Intinya selain butuh kebijakan negara yang tak kalah penting adalah peran umat. Umat yang mempunyai pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang sama dengan negara, mudah diatur.

Bahkan, ketika negara dalam kondisi kesulitan, umat dengan suka rela mengasuh, mendukung, menjaga dan membantu negara. Beda hasilnya jika negara yang selama ini memusuhi umat, pemahaman, standarisasi dan keyakinan mereka, tentu akan sangat sulit diasuh, didukung dan dijaga oleh umat. Sebab umat selalu merasa tersakiti sehingga dukungan pun asal-asalan.

Pandemi dan wabah adalah fitrah Allah SWT yang diturunkan selama umat manusia ini mengarungi kehidupan . Semua dalam rangka muhasabah untuk lebih mendekat kepada Allah, Sang Pemilik Dunia dan seisinya. Dan dunia Islam telah membuktikan bahwa ketaatan dan ketundukan kepada seluruh syariat Allah itulah kunci keberhasilan. Paradigma penguasa akhirnya beralih kepada apa yang disabdakan Rasulullah SAW,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Penguasa dan negara mereka menjadi pengurus urusan rakyat. Memberikan apa yang menjadi haknya. Sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan kesehatan dengan sempurna. Karena telah sejahtera inilah dukungan rakyat bisa segera memberikan kekuatan kepada negara untuk menerapkan setiap kebijakan di saat pandemi ataupun bukan. Wallahu a'lam bish showab.






Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak