Oleh : Ayra Naira
Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) ini di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang. Sementara itu di depan Kompleks DPR aparat keamanan berjaga-jaga mengantisipasi demonstrasi elemen buruh dan masyarakat sipil. (Waspada.co.id, 05/10/2020)
Pemerintah kembali membuat ulah di tengah pandemi. Pasalnya RUU Cipta kerja yang direncanakan akan disahkan dalam Rapat Paripurna Kamis, 8 Oktober mendatang. Namun secara tiba-tiba DPR dan pemerintah mempercepat agenda pengesahan RUU kontroversial ini. Sontak pengesahan ini membuat masyarakat mengecam keras tindakan pemerintah dan turun ke jalan untuk menuntut ketidakadilan ini.
Pandemi masih terus berlangsung, korban terus meningkat dan penanganan yang tumpang tindih. Seharusnya membuat pemerintah lebih fokus dalam menanganinya. Sebab negara ini menjadi pusat perhatian dunia akibat buruknya penanganan Covid-19. Seakan-akan RUU ini sangat mendesak untuk disahkan saat situasi pandemi .
Hal ini tentunya membuat kita bertanya-tanya kenapa pengesahan ini tekesan buru-buru di tengah situasi pandemi yang kian memburuk? Pembahasannya yang tidak mengikutsertakan pihak-pihak terkait. Dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat sedangkan hal ini menyangkut kepentingan rakyat Indonesia.
DPR merupakan Dewan Perwakilan Rakyat, mereka adalah orang terpilih yang bertugas menyuarakan aspirasi rakyat. Disaat pemilu mereka turun ke rakyat dan meminta suara rakyat. Namun lihatlah ketika rakyat bersuara dengan lantang untuk menolak RUU Cipta Kerja ini, mereka pura-pura tuli dan menjadi pengkhianat rakyat.
Lalu kepada siapa lagi rakyat harus menyuarakan aspirasi mereka ketika dengan terang-terangan wakil mereka sendiri tidak memihak terhadap mereka. Rakyat secara sistematis dikhianati. Mereka yang seharusnya duduk untuk kepentingaan rakyat nyatanya berdiri mendukung korporasi.
Dilihat dari substansinya, keberadaan UU Cipta Kerja ini sangat berpihak pada para pengusaha dan investor asing. Dengan gamblangnya pemerintah kita memuluskan jalan mereka. Ya, mereka kaum kapitalis.
Berbeda dengan sistem Islam, para tenaga kerja sangat dilindungi haknya dan tentunya mereka tidak diperlakukan sebagai budak pemerintah ataupun korporasi. Buruh/pekerja wajib memberikan jasa sebagaimana yang disepakati bersama dengan pihak majikan/perusahaan. Ia pun terikat dengan jam/hari kerja maupun jenis pekerjaannya. Sebaliknya, sejak awal majikan/perusahaan wajib menjelaskan kepada calon pekerja/buruh tentang jenis pekerjaannya, waktu kerjanya, serta besaran upah dan hak-hak mereka.
Khilafah bertanggung jawab untuk memampukan setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan dasar individu (papan, sandang, pangan) dengan mekanisme tidak langsung, yakni kewajiban bekerja bagi laki-laki (kepala keluarga). Maknanya, negara diberi tugas oleh syariat untuk membuka lapangan pekerjaan yang luas dan iklim usaha yang kondusif.
Cara khilafah dalam memenuhi hak dasar warganya yaitu, pertama Khilafah membuka lapangan pekerjaan dengan proyek-proyek produktif pengelolaan SDA yang ditangani oleh negara, bukan diserahkan pada investor. Kedua, Khilafah juga memastikan upah ditentukan berdasar manfaat kerja yang dihasilkan oleh pekerja dan dinikmati oleh pengusaha/pemberi kerja tanpa membebani pengusaha dengan jaminan sosial, kesehatan, dan JHT/pensiun. Ini mekanisme yang fair tanpa merugikan kedua belah pihak. Ketiga, negara menyediakan secara gratis dan berkualitas layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua warga negara, baik kaum buruh atau pengusaha.
Sedangkan layanan transportasi, perumahan, BBM, dan listrik tidak akan dikapitalisasi karena dikelola negara dengan prinsip riayah/pelayanan; keempat, negara dilarang menjadi tukang palak yang banyak memungut pajak dan retribusi di segala lini.
Negara diberi tugas untuk menjalankan syariat dan jika pelaksanaannya melenceng maka majelis syuro atau rakyat sendiri akan melakukan koreksi pada pemerintah. Pun UU yang diterapkan tidak lain bersumber dari Al-Quran dan sunah. Hal ini tentu berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Maka selamanya perubahan atau pembuatan UU tidak akan pernah menyelesaikan masalah selama kita berada dalam sistem ini.
Wallahu a’lam bish-shawabi