Sertifikasi Halal dan Kebutuhan Produk Halal





Oleh: Wilujeng Sri Lestari, S.Pd I


Undang-undang Cipta Kerja ya g disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu masih menjadi perbincangan hangat. Belum selesai aksi penolakan terkait pasal-pasal yang merugikan para pekerja, peran ulamapun diragukan dalam pemberian sertifikasi halal.

Dengan dalih memudahkan pemberian akses sertifikasi halal bagi UMKM dengan biaya gratis, maka dibuatlah aturan ini.

"Tantangan terbesar sertifikasi halal bagi UMKM saat ini adalah biaya mengaksesnya. Akibatnya hanya usaha menengah dan besar yang memiliki kecukupan modal yang mampu mendapat sertifikasi halal selama ini," kata Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki. (suara.com, 20/10/2020).

Untuk mendukung sertifikasi halal ini, maka dibuatlah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sertifikasi halal merupakan sebuah perpaduan antara agama dan sains dalam berbagai produk yang dipakai oleh muslim.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mastuki mengatakan dalam proses keluarnya sertifikasi halal melibatkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara BPJPH menjadi otoritas yang mengatur lalu lintas sertifikasi halal, seperti di urusan registrasi dan administrasi. (Antaranews, 6/8/2020).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah akan memperluas izin proses sertifikasi produk halal ke berbagai lembaga. Lembaga itu ditetapkan sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Lembaga itu berupa universitas, yayasan, hingga organisasi masyarakat (ormas) perkumpulan Islam. (CNNIndonesia, 12/10/2020).

Namun, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim menilai UU Ciptaker merusak esensi sertifikasi halal. Sebab beleid sapu jagat itu hanya fokus pada perlindungan produsen. (Wowkeren.com, 7/10/2020)

Salah satu pasal yang sangat disoroti adalah perihal auditor halal. Dijabarkan lebih detail, UU Ciptaker mengubah Pasal 10 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang buntutnya menghilangkan ketentuan adanya sertifikasi auditor halal dari MUI.

"Auditor itu adalah saksi daripada (perwakilan) ulama. Saksi daripada ulama, maka dia harus disetujui oleh ulama," tegas Lukman, dikutip dari Kompas, Rabu (7/10).

Perubahan regulasi ini sendiri tercatat di Pasal 10 UU Jaminan Produk Halal di Pasal 48 UU Ciptaker. (Wowkeren.com,7/10/2020)

Dalam UU Cipta Kerja tersebut, Komisi Fatwa MUI diberi tugas memfatwakan halal hingga tiga hari. Jika sampai tiga hari fatwanya belum keluar, BPJPH bisa menerbitkan sertifikat halal sendiri. “Hal itu menjadikan esensi halalnya hilang, yang ada proses perizinan atau administratifnya saja,” ujar Lukman.(SuaraIslam.id,7/10/2020).

_Program tak matang, bukti Demokrasi gagal_

Jika melihat dari latar belakang dikeluarkannya UU Ciptaker ini adalah kerugian para pengusaha di tengah wabah corona yang berlangsung hingga hari ini. Dimana acuan pemerintah dalam membuat kebijakan selalu melihat dari aspek ekonomi.

Masih teringat pada benak kita dimana pemerintah melonggarkan PSBB untuk pemulihan ekonomi, padahal corona masih mencapai puncaknya.

Belum cukup sampai disitu, isi draft UU Ciptaker tersebut lebih menguntungkan pengusaha.

Dampak UU inipun ternyata juga menyasar ranah MUI dalam memberikan ijin halal terhadap suatu produk.

Jika melihat tujuan dimudahkannya pemberian ijin halal pada produk yang dikeluarkan oleh UMKM di seluruh Indonesia, darimanakah pemerintah mendapatkan dana untuk mensubsidi biaya operasional ijin halal tersebut. Padahal kita tahu hutang Indonesia semakin menumpuk setiap harinya.

Padahal dengan sulitnya pemberian ijin sertifikasi halal akan mendorong pelaku UMKM menjaga kwalitas produk yang dibuatnya. Masalah akan kembali muncul ketika ada penyelewengan dana yang mungkin dilakukan oleh oknum tertentu dalam pembuatan badan pemerintah ini.

Pemerintah seakan tak percaya dengan kemampuan Majelis Ulama Indonesia dalam menentukan standar halal suatu produk. Padahal lembaga pemeriksa halal yang terdiri dari universitas, yayasan, hingga organisasi masyarakat (ormas) perkumpulan Islam tidak semuanya mengerti dan memahami hukum syariat Islam terkait ke halalan suatu produk. Belum lagi perbedaan pandangan setiap orang terkait halal dan haram suatu produk.

Selain itu waktu tiga hari yang ditentukan oleh pemerintah tidaklah cukup untuk memfatwakan kehalalan suatu produk. Harus ada pengkajian terhadap hukum syariat serta harus memanggil para ahli dalam menetapkan hal tersebut.

_Butuh Pemimpin untuk Menjaga Keimanan_

Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Jadi wajar jika seluruh aturannya harus ditetapkan sesuai aturan Islam.
Dalam memilih makanan, minuman pun Islam telah memberikan aturan.

“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al Maidah: 88)

Maka makanan dan minuman yang tayyib dan halal adalah keharusan setiap muslim sebagai bentuk keimanan dan ketaqwaan muslim tersebut terhadap Rabnya.
Untuk itu, seorang muslim wajib mengetahui halal atau haram makanan yang dikonsumsi nya.

Sertifikasi halal dari Ulama adalah jaminan keamanan bagi setiap muslim dalam memakai produk yang sesuai syariat Islam. Karena untuk menetapkan sebuah makanan dan minuman tersebut halal harus melalui proses isbat penetapan hukum syariat yang ditetapkan oleh ahlinya, dalam hal ini adalah fatwa Ulama.

UU ini sejatinya adalah upaya pemerintah kapitalis untuk menyisihkan peran Ulama di segala bidang kehidupan. Padahal seharusnya pemerintah melindungi rakyatnya dari apa saja yang dimakan dan dipakai agar terhindar dari segala macam keharaman.

Untuk itu wajiblah keberadaan seorang pemimpin Islam dalam menjaga akidah dan keimanan seorang muslim. Hanya pemimpin Islam lah yang bisa menerapkan seluruh aturan Islam dalam segala aspek kehidupan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak