Sertifikasi Da'i, Haruskah?



Oleh : Norhidayah

(Aktivis Dakwah & Founder Taman Surga Akhwat)

Rencana Kemenag untuk memberi sertifikat kepada para da'i membuat heboh masyarakat. Tentu saja pernyataan tersebut mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Salah slatunya dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), MUI menyatakan menolak keras rencana sertifikasi da'i dan penceramah yang akan dilakuka Kementerian Agama (Kemenag).

“MUI tidak setuju dan menolak keras rencana Menteri Agama tentang sertifikasi penceramah atau dai khususnya yang beragama Islam dan agama lain dengan tujuan untuk mengeliminasi gerakan radikal,” kata Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta, (Islampos.com, 7/9/2020).

KH Muhyiddin memandang kebijakan sertifikasi ulama itu kontraproduktif. Ia  kha I'll mom

watir, kebijakan tersebut berpeluang dimanfaatkan demi kepentingan Pemerintah guna meredam ulama yang tak sejalan. Program ini berpeluang menimbulkan keterbelahan di tengah masyarakat. Bisa berujung konflik. Bisa memicu stigmatisasi negatif kepada penceramah yang tak bersertifikat.

Program Penceramah Bersertifikat ini pun berpotensi membatasi gerak dakwah. Beberapa masjid atau kegiatan bisa saja diintervensi agar hanya menggunakan penceramah yang bersertifikat.

Tak hanya MUI, sejumlah kalangan pun menolak program sertifikasi ini. Wakil Sekjen PA 212, Novel Bamukmin menilai program sertifikasi penceramah berpotensi menjadikan dai dari kalangan Islam menjadi penceramah yang menyampaikan dakwah dengan menyembunyikan kebenaran dan menyesatkan. (CNN Indonesia, 9/9/20)

Selain itu, Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad dan Ketua Umum PA 212, Slamet Ma'arif juga menolak wacana sertifikasi dai ini. (Republika.co.id, 13/8/20)

Sebagaimana yang diketahui, penguasa hari ini adalah penguasa yang zalim terhadap rakyatnya. Penguasa yang memihak Asing dan Aseng. Penguasa yang memihak pada penista agama dan mempersekusi para ulama, maka bukan sesuatu yang berlebihan jika sertifikasi dai ini dikhawatirkan sebagai program "pesanan" dari pemerintah.

Inilah ciri khas dari kepemimpinan sistem sekuler demokrasi. Penguasa bebas menentukan standar sebagaimana yang mereka inginkan dan bukan berdasarkan syariat Islam. Mereka akan melakukan berbagai cara agar kebijakan yang mereka buat seakan-akan untuk umat

Sertifikasi ini hanyalah kedok penguasa untuk mengontrol. Mereka seolah-olah sedang melindungi umat Islam melalui sertifkasi dai ini. Padahal isi sertifikasi ink hanyalah kedok penguasa untuk mengontrol penceramah dai-dai bersertifikat agar sesuai dengan kepentingan mereka

Di antara keistimewaan Islam dibandingkan dengan agama dan ideologi lain adalah Islam mewajibkan setiap Muslim untuk bertanggung jawab kepada saudaranya dan segenap umat manusia. Salah satu wujud tanggung jawab yang dimaksud adalah dakwah.

Dakwah adalah mengajak manusia ke jalan Allah Swt.  Di dalamnya termasuk seruan amar makruf nahi mungkar. Dengan dakwah manusia bisa keluar dari kegelapan jahiliah menuju cahaya terang Islam. 

Dakwah hukumnya wajib. Setiap pribadi Muslim yang telah balig dan berakal, baik laki-laki maupun wanita, diperintahkan untuk berdakwah. Allah Swt berfirman: 

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Karena itu berdakwahlah dan beristiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepada kamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (TQS. asy-Syura [42]: 15).

Allah Swt pun berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik (TQS. an-Nahl [16]: 125).

Rasulullah saw. pun bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat (HR al-Bukhari).

Lebih dari itu, Rasulullah saw. menyebut ‘inti’ dari agama ini (Islam) adalah nasihat. Beliau bersabda:

الدِّيْنُ نَصِيْحَةٌ

(Inti) agama (Islam) ini adalah nasihat (HR at-Tirmidzi).

Oleh karena itu tugas dan kewajiban dakwah berlaku umum atas setiap Muslim tanpa memandang profesi, status sosial maupun tingkat ilmunya. Dakwah bukan sekadar tugas dan kewajiban pihak-pihak yang mendapatkan label “ulama”, “ustadz” atau nantinya dai yang bersertifikat dari penguasa. Karena itu pengemban dakwah tak perlu sertifikat dari penguasa.  Apalagi jika program dai “bersertifikat” tersebut malah mengaburkan esensi dakwah Islam dan menghalangi amar makruf nahi mungkar (termasuk kepada penguasa).

Setiap Muslim pada hakikatnya adalah penyambung tugas Rasulullah Muhammad saw. dalam menyampaikan risalah dakwah.  Risalah dakwah yang diemban Rasulullah saw. adalah ciri kemuliaan beliau. Oleh karena itu setiap Muslim yang meneruskan aktivitas mengemban risalah dakwah juga akan memiliki kedudukan yang mulia. 

Allah Swt dan Rasul-Nya banyak memberikan dorongan dan pujian yang ditujukan kepada para pengemban dakwah dan penyampai hidayah-Nya. Allah Swt, misalnya, berfirman:


وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, "Sungguh aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"  (TQS al-Fushilat [41]: 33).

Di sinilah pentingnya dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Dengan itu kemungkaran bisa segera dikendalikan sebelum membesar dan menghancurkan masyarakat seluruhnya.  

Keengganan melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar akan menimbulkan malapetaka dan bencana yang tidak terbatas hanya menimpa orang-orang yang berbuat kerusakan dan penyimpangan saja, tetapi juga akan menimpa seluruh masyarakat. Allah Swt berfirman:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Peliharalah diri kalian dari fitnah (bencana) yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah, Allah amat keras siksaan-Nya (TQS al-Anfal [8]: 25).

Rasulullah Muhammad saw. juga menjelaskan dampak yang terjadi jika dakwah ditinggalkan:

وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوْشِكُنَّ اللهُ يَبْعَثُ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kalian harus melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menimpakan azab-Nya atas kalian. Lalu kalian berdoa kepada-Nya, tetapi Dia tidak mengabulkan doa kalian (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).

Hadis tersebut memberikan dua pilihan yaitu: memilih dakwah atau memilih azab dan doa yang tak terkabul.  Tak ada pilihan ketiga. Artinya, siapapun yang meninggalkan dakwah akan mendapatkan azab dan doanya tidak terkabul. 

Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa jika dakwah dan amar makruf nahi mungkar ditinggalkan, akan muncul para penguasa jahat dan tidak menyayangi kaum Muslim (HR Al Bazzar dan ath-Thabrani).

Semua akibat buruk di atas sekaligus menjadi qarînah (indikasi) yang menegaskan bahwa dakwah dan amar makruf nahi mungkar adalah wajib. Meninggalkannya merupakan dosa.

 Di dalam sistem Islam,  rakyat baik ulama maupun non ulama mempunyai peranan dan kewajiban untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan negara dalam melaksanakan tugas mengurus urusan mereka. Terlebih seorang ulama, mereka yang paling mengerti urusan syariah tentang pengurusan umat, maka mereka berada di garda terdepan dalam mengoreksi kebijakan negara yang dianggap menyalahi hukum syariah, zalim atau merugikan kepentingan publik.

Hal inilah yang menjadikan alasan Khilafah dipenuhi berbagai sikap ulama yang selalu kritis terhadap kekuasaan. Bukan karena opposan, tetapi karena keinginan kuat agar sistem Khilafah ini tetap 'on the track', tidak keluar dari jalur syariat Islam.

Lantas, sertifikasi dai, haruskah?


Wallahu a'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak