Sertifikasi Dai dalam Islam, Adakah?











Oleh: Ummu Zubair

Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa program dai/penceramah bersertifikat segera digulirkan dalam waktu dekat. Ia menegaskan program tersebut sudah dibahas oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin. (Cnnindonesia.com,13/08/2020)

Kementerian Agama (Kemenag) akan menyelenggarakan program penceramah bersertifikat. Program ini menuai kritik dan penolakan salah satunya dari Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang menolak rencana program tersebut. (republika.co.id,09/09/2020)

Wakil ketua MUI Muhyidin Junaidi menjelaskan alasan MUI menolak sertifikasi ulama itu adalah karena usulan itu telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman, dan kekhawatiran intervensi dari pemerintah pada aspek keagamaan di Indonesia. Potensi intervensi itu dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat islam. (Cnnindonesia.com, 09/09/2020)

Wajar jika sertifikasi dai ini mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Sebagaimana yang diketahui penguasa hari ini adalah penguasa yang zalim terhadap rakyatnya. Penguasa yang memihak asing, aseng. Serta condong  pada penista agama dan ormas yang mempersekusi para ulama. Maka bukan sesuatu yang berlebihan jika sertifikasi dai ini dikhawatirkan sebagai program 'pesanan' dari pemerintah.

Inilah kepemimpinan dari sistem sekuler demokrasi. Penguasa bebas menentukan standar sebagaimana yang mereka inginkan dan bukan berdasarkan syariat Islam. Mereka akan melakukan berbagai cara agar kebijakan yang mereka buat seakan-akan mereka lakukan untuk umat. Mereka seolah-olah melindungi umat Islam melalui program sertifikasi ini. Padahal sertifikasi ini hanyalah kedok penguasa untuk mengontrol isi ceramah dai-dai bersertifikat agar sesuai dengan kepentingan mereka.

Dalam Islam, seorang dai adalah orang yang menyampaikan Islam di tengah-tengah umat. Dai atau pendakwah bukanlah sebuah profesi yang dapat menghasilkan pada keberlimpahan materi melainkan akan menghantarkan pelakunya pada keberlimpahan pahala. Karena sesungguhnya aktivitas dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim.
Rasulullah saw bersabda
"Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya" (HR Muslim no.1893)

Oleh karena itu, berdasarkan paradigma ini, para dai maupun ulama memiliki kedudukan yang penting dalam sistem Islam yaitu Khilafah. Karena dengan adanya dai dan ulama, umat dan penguasa dibimbing agar selalu berjalan di atas Islam. Mereka mencermati keadaan masyarakat dan penguasa serta berusaha semaksimal mungkin melakukan perbaikan atas keadaan mereka.

Para dai ataupun ulama adalah pengawal kekuasaan agar kekuasaan berjalan di atas syariah Islam. Ulama harus memperhatikan perilaku, kebijakan, kecenderungan dan orang-orang yang ada di sekeliling penguasa. Dia juga harus memahami konstelasi politik internasional, negara-negara berpengaruh, dan konvensi internasional yang mempengaruhi negaranya. Semua ini diperlukan untuk mengawal kekuasaan agar tetap sejalan dengan Islam dan kepentingan kaum Muslim.

Mereka pun menjadi garda terdepan dalam mengoreksi penguasa zalim. Ketika umat berlaku lurus dan tegas pada penguasa hakikatnya ia telah mencegah sumber kerusakan. Sebaliknya, tatkala ia berlaku lemah terhadap penguasa kepada penguasa zalim, saat itulah ia menjadi pangkal segala kerusakan.
Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Ima Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (Al-Ghazali, Ihya 'Ulum ad-Din, 2/357)

Islam memberikan tuntunan apa dan bagaimana gambaran ulama, bukan berdasarkan pada penilaian manusia. Harusnya kualifikasi ulama ditetapkan berdasarkan penilaian Allah dan Rasul-Nya, bukan makhluk seperti manusia. Karena penilaian manusia itu relatif, tidak baku, dan sangat mungkin melakukan kesalahan.

Semestinya pula dakwah amar makruf nahi mungkat tidak terbatas ada tidaknya sertifikasi. Apa yang Islam ajarkan memang sudah semestinya disampaikan tanpa dikurangi ataupun ditambahi.
Maka dari itu dalam sistem Islam tidak ada kelompok oposisi. Namun bukan berarti tidak ada ada praktik muhasabah kepada penguasa. Dalam sistem Khilafah, mekanisme muhasabah dilakukan oleh kekuasaan baik melalui Majelis Umat, Mahkamah Mazalim, sampai partai politik. Di luar itu, rakyat dari kalangan ulama maupu non ulama mempunyai peranan untuk mengoreksi kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Rakyat juga mempunyai kewajiban mengoreksi negara dalam melaksanakan tugas mengurus urusan mereka.

Terlebih seorang ulama, mereka adalah orang yang paling mengerti hukum syariah tentang pengurusan urusan umat, maka mereka berada di garda terdepan dalam mengoreksi kebijakan negara yang dianggap menyalahi hukum syariah, zalim atau merugikan kepentingan publik.

Khilafah selalu dipenuhi dengan  ulama yang  kritis terhadap kekuasaan. Hal ini karena adanya keinginan kuat agar sistem Khilafah tetap on the track tidak keluar dari syariah Islam. Hal ini pernah dicontohkan oleh Abu Muslim al-Khaulani yang mengoreksi Muawiyah bin Abi Sofyan salah seorang sahabat Nabi saw sekaligus mujtahid yang pada saat itu menjadi Khalifah.

Amirul mukminin Muawiyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum muslimin, lalu ia berkata: “dengar dan taatlah.” Lalu berdirilah Abu muslim al khulani mengkritik tindakannya yang salah, “kami tidak akan mendengar dan taat wahai Muawiyah.” Muuawiyah berkata, “mengapa wahai Abu Muslim?” Abu Muslim menjawab, “Wahai Muawiyah, mengapa engkau memotong jatah itu padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu?” Muawiyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata pada hadirin, “tetaplah di tempat kalian.” Lalu dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan ia sudah mandi. Muawiyah berkata, “Sesunggguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:  "Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi. Sebenarnya saya masuk untuk mandi".

Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula hasil jerih payah bapakku, maka ambillah jatah kalian.” (Hadis ini dituturkan oleh Abu Nuaim dalm kitab Al Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al- Ghazali dalam kitab Al Ihya’, Juz VII hal. 70).
Wallahu a'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak