Sejahtera atau Sengsara




Oleh Fadhillah Nur Syamsi*


Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan DPR RI pada Senin (5/10/2020). DPR mengesahkan UU Cipta Kerja Omnibus Law meski banyak mendapat penolakan dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat. (Tirto.id)

Banyak kajian yang diterbitkan oleh berbagai lembaga menunjukkan pengesahan UU Cipta Kerja akan merugikan buruh/pekerja.

Menurut kajian "Catatan Kritis dan Rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja - Fakultas Hukum UGM 2020", RUU Cipta Kerja lebih fokus pada tujuan peningkatan ekonomi, dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia.

Undang-undang citpta kerja hanya membuat sengsara rakyat karena buruh semakin tercekik. Adanya konflik abadi antara buruh dan pengusaha ini membuktikan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam menyejahterakan buruh. Buruh dipandang sebagai komponen produksi yang harus ditekan biayanya seminimal mungkin agar ongkos produk bisa murah ibarat seperti pekerja rodi pada saat pada zaman penjajahan yang membedakan ini di rumahnya sendiri.

Padahal buruh ialah sumber daya manusia yang punya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Bukan hanya bagi dirinya, tapi juga keluarganya. Sehingga harus disejahterahkan untuk memenuhi kebutuhamnya jadi seharusnya tuntutan upah layak ditentukan dengan adil. Bagaikan magnet antar kutub selatan dan utara. Buruh ingin kesejahteraan, pengusaha ingin ongkos produksi murah. Selamanya tak akan ketemu

Mirisnya, penguasa justru bertindak semena-mena dan memihak kepada pengusaha tersebut. Akibatnya buruh makin tergencet oleh peraturan yang dibuat penguasa, atas pesanan oligarki, jauh dari kesejahterahan rakyat. Penguasa seolah lupa bahwa buruh adalah juga rakyatnya yang akan dia pertanggungjawabkan pengurusannya di yaumul hisab kelak. Jutaan buruh akan maju satu persatu dan menuntutnya di persidangan akhirat kelak.

Islam Mengayomi Buruh dan Pengusaha

Konflik abadi antara buruh dan pengusaha tidak akan terjadi dalam sistem khilafah Islam. Upah (ujrah) adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan tenaga kerja.

Persoalan upah dikembalikan pada standar Islam yakni syariah. Rasulullah Saw. memberikan panduan terkait upah pada hadis yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”

Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya. Pekerja dan majikan harus menepati akad di antara keduanya mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan yang disepakati.

Rasulullah Saw. menyampaikan tentang pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: 

“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).”
 (HR Muslim)

Islam bahkan mengatur tata cara pembayaran upah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda, “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Imam Thabrani)

Besarnya upah tergantung kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau berdasar upah standar profesi tersebut. Dikisahkan, ketika Umar ra. ingin mempekerjakan seorang pemuda yang miskin, maka beliau menawarkan kerjanya dengan mengatakan, “Siapakah yang akan mempekerjakan atas namaku pemuda ini untuk bekerja di ladangnya?” Maka seseorang dari kaum Anshar berkata, “Saya, wahai Amirul Mukminin!” Beliau berkata, “Berapa kamu memberinya upah dalam sebulan?” Ia menjawab, “Dengan demikian dan demikian!” Maka beliau berkata, “Ambillah dia!”
Riwayat ini memberikan pengertian bahwa Umar menawarkan tenaga kerja, lalu datang permintaan dari pihak orang Anshar tersebut, dan terjadi kesepakatan tentang upah.

Dengan sistem Islam dengan pengupahan yang adil, pekerja hidup sejahtera hanya dalam sistem islam khilafah. Pekerja diupah berdasarkan manfaat yang diberikannya. Jika upah tersebut tidak mencukupi kebutuhan dasarnya, negara akan memberi santunan dari dana zakat dan lainnya di baitumal. Pengusaha juga sejahtera hidup dalam Khilafah karena dia mendapat manfaat dari pekerja dan tidak dibebani untuk menanggung biaya hidup sang pekerja seperti pendidikan kesehatan dan keamanan karena semua itu ditanggung oleh khalifah. Kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab negara. Demikianlah sistem khilafah hadir memberi solusi bagi buruh dan pengusaha sehingga keduanya bisa hidup sejahtera. Wallahu a’lam bishshawab.


*Mahasiwa STEI Hamfara

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak