Oleh : Khaulah
Aktivis BMI Kota Kupang
Begitu menyedihkan. Ulama di negeri ini kerap kali menjadi target penyeragan orang yang katanya gila.
Terbaru, kejadian yang menimpa pada Syekh Ali Jaber yang pada saat itu mengisi acara di Lampung. Beliau ditusuk seseorang yang menyerobot ke atas panggung. Alhasil, menyebabkan luka di lengan kanan beliau.
Terkait hal ini, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD pun angkat bicara. “Pemerintah menjamin kebebasan ulama untuk terus berdakwah amar makruf nahi munkar. Dan saya menginstruksikan agar semua aparat menjamin keamanan kepada para ulama yang berdakwah dengan tetap mengikuti protokol kesehatan di era Covid-19,” (viva.co.id, 13/2020).
Lebih jauh, Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengecam keras kasus penusukan tersebut. Ia meminta agar kasus ini diusut tuntas dan tidak meyakini jikalau pelakunya orang gila. Menurutnya, kejadian ini sudah terencana. Ya, seharusnya kasus ini diusut tuntas agar ulama-ulama tak lagi mejadi korban perlakuan 'orang gila'. Tetapi bisakah?
Terkait ungkapan Menkopolhukam, nyatanya jauh panggang dari api. Lihat saja serentetan ulama yang di persekusi karena mendakwahkan Islam serta mengoreksi kezaliman rezim.
Umat tidak boleh lalai, merasa senang atas ungkapan tersebut. Karena terbukti ulama tidak mendapat perlindungan sepenuhnya dari negara. Perlu ditegaskan, umat tidak boleh terbawa angin segar.
Karena sebetulnya, ulama bukan hanya membutuhkan perlindungan dari ancaman fisik ketika berdakwah. Lebih dari itu, ulama membutuhkan sistem yang kondusif menyadarkan umat akan Islam kafah.
Sejatinya, sistem hari ini bukanlah sistem yang kondusif bagi ulama. Mengapa? Lihat saja berbagai kebijakan yang akan dan telah diluncurkan penguasa. Misalnya, Program Penceramah Bersertifikat oleh Kemenag.
Program ini tentu berpeluang meredam ulama yang tak sejalan dengan kepentingan rezim. Program ini pun berpotensi membatasi gerak dakwah. Hal ini karena akan muncul masjid-masjid yang penceramahnya harus memiliki sertifikat. Lalu, mana bukti kebebasan berdakwah kata Menkopolhukam?
Kejadian semacam ini lumrah terjadi di sistem hari ini. Kapitalisme dengan pijakan sekularisme tentu memilah-milah aturan agama yang dijalankan. Tak boleh sempurna. Tak boleh secara keseluruhan. Syariat Islam mesti diambil hanya pada ranah ruhiyah. Sehingga tampak bahwa ungkapan Menkopolhukam ialah fatamorgana belaka.
Ulama tak mungkin dan tak akan bisa dilindungi oleh rezim sekuler. Sebaliknya, akan senantiasa dibatasi gerak dakwahnya tatkala mendakwahkan Islam kafah serta berseberangan dengan kepentingan rezim.
Padahal jelas, Islam telah menempatkan ulama pada posisi mulia. Seperti firman Allah Swt. berikut, “Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah ayat 11).
Ulama adalah pewaris para Nabi. Rasulullah Saw. bersabda, “Para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham (harta). Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak (menguntungkan).” (HR. Ahmad, at-Tirimidzi).
Namun, tatkala masih dalam sistem sekularisme kapitalisme, perlakuan buruk terhadap ulama akan terus terjadi. Ujian, pertentangan, persekusi akan senantiasa tampak. Ulama yang telah mewakafkan dirinya dalam jalan dakwah akan menemui berbagai makar yang berikhtiar meredamnya. Tak lain, karena kapitalisme telah memisahkan agama dari kehidupan.
Hal ini tampak berbeda dalam sistem Islam, Khilafah. Dalam Khilafah, semua sendi-sendi kehidupan diatur dengan syariat Islam. Maka dari itu, sistem Khilafah membutuhkan orang-orang yang paham ilmu agama yak tak lain ialah ulama.
Dalam konteks sejarah Islam, para Khilafah justru mendatangi majelis ilmu. Diturukan Al-Qadhi Iyadh, “Ia (Harusn ar-Rasyid) berjalan bersama dua orang anaknya al-Amin dan al-Makmun, untuk mendengar kajian al-Muwaththa yang disampaikan Imam Malik rahimahullah.”
Para Khalifah juga senantiasa meminta nasihat dari ulama. Dikisahkan Khalifah Harun a-Rasyid menemui Fudhail bin Iyadh. Fudhail berkata, “Amirul Mukminin, bersiap-siaplah engkau untuk menjawab pertanyaan Allah kelak. Sebab, sesungguhnya Allah akan menghadapkanmu kepada setiap Muslim atas kebijakanmu terhadap masing-masing dari mereka.” Khalifah Harun ar-Rasyid lantas menangis mendengar itu.
Dari sini terlihat jelas hanya dalam sistem Islam, para ulama dimuliakan, diminta nasihatnya. Tentu sangat kontras dengan kondisi di sistem kapitalisme hari ini. Kapitalisme tidak memuliakan para ulama.
Wallahu a'lam bishshawab.